Udang windu (penaeus monodon) merupakan salah satu hasil
perikanan yang masih memiliki nilai jual tinggi.
Wajar jika masyarakat petani tambak tetap antusias
melakukan usaha budi daya, meski penyakit terkadang tidak bersahabat dalam
melakukan budi daya di tambak. Padahal, tak jarang petambak mengalami kerugian
jutaan rupiah.
Kini, daya beli masyarakat memang sedikit menurun. Tapi,
itu bukanlah suatu alasan untuk tidak mengembangkan budi daya udang ini.
Pasalnya, pangsa pasar luar negeri tetap terbuka kerannya, sehingga berapapun
jumlah produksi udang windu yang dihasilkan petambak, akan tetap terserap.
Belum lagi pangsa pasar dalam negeri yang juga masih tetap terbuka, sehingga
wajar saja jika petambak tetap gigih dan tanpa menyerah dalam budi daya udang
windu.
Salah
satu contoh di pasar tradisional seperti di Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Rajawali dan Paotere, Makassar Sulsel, di mana udang windu masih tetap banyak
dijual dan pembelinya pun cukup lumayan, sehingga pedagang tidak terlalu repot
dalam memasarkannya. Hal itu dilihat sendiri oleh penulis dalam setiap
kunjungan rutin sekali seminggu ke TPI yang ada di daearah ini.
Belum
lagi di pasar swalayan dan restoran-restoran atau hotel-hotel berbintang juga
menu udang windu tetap menjadi primadona. Bahkan rumah-rumah makan pun tidak
luput dari sajian ini, sehingga masih sangat bagus dalam pemasarannya.
Dampak
Krisis Global
Krisis
keuangan global yang dimulai dari negara adidaya Amerika Serikat (AS) itu
membuktikan bahwa kapitalisme tidak terkendali sehingga menyebabkan kerawanan
ekonomi, bahkan menyebar ke negara lain yang merupakan pasar tujuan ekspor
produk Indonesia .
Namun,
dengan adanya krisis yang berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat, gaya hidup berubah,
berkurangnya permintaan, harga turun, perebutan pasar, persaingan sempurna dan
pembayaran sulit.
Khusus
di bidang perikanan juga tidak kalah pentingnya sebab selain daya beli konsumen
turun juga beberapa bank kredit dilikuidasi, bahkan importir melakukan stop
buying/pembatalan kontrak atau melakukan negosiasi kontrak. Padahal
sektor perikanan sebagai salah satu andalan ekspor Indonesia akan terkena
dampak. Dan diperkirakan akan terjadi penurunan ekspor hasil perikanan antara
15-20 persen.
Padahal, jika dilihat dari catatan ekspor udang Indonesia
di mana volume tahun 2005 mencapai 153.906 ton dan nilai USD 948.130, tahun
2006 volume 169.329 ton dengan nilai USD 1.115.963, tahun 2007 volume 157.545
ton, nilai USD 1.029.935, sedangkan pada tahun 2008 per Agustus volume ekspor
sudah mencapai 115.198 ton dengan nilai USD 782.721. Sedangkan tujuan ekspor udang
Indonesia tahun 2007 yaitu Amerika Serikat sebesar 37 persen, Jepang 31 persen
dan Uni Eropa sebanyak 18 persen.
Berdasarkan
data pada tahun 2005 berada pada urutan kedua setelah Thailand
sebagai ekspor utama udang ke Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Indonesia hanya menduduki peringkat ke empat
setelah Thailand ,
China, dan Equador. Namun pada tahun tahun 2007 kembali naik ke posisi di mana
peringkat pertama diduduki oleh negara Thailand, Equador, Indonesia, China dan
Mexico.
Melihat
kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh tertinggal dari
beberapa negara di Asia, padahal jika dilihat dari jumlah lahan dan luas
wilayahnya, maka wajar kalau Indonesia menduduki peringkat pertama dalam
memasok udang dunia.
Tapi
fakta berkata lain sehingga sektor ini perlu lebih ditingkatkan lagi di masa
akan datang, karena peluang masih terbuka lebar untuk meraih peringkat pertama
dalam memasok udang ke luar negeri, sisa bagaimana menggenjot produksi sehingga
apa yang akan diinginkan itu dapat tercapai.
Pesaing
Sedikit
Bila
kita memiliki kepekaan dalam memberikan motivasi kepada petani tambak, baik
pemerintah maupun swasta untuk selalu memberikan dorongan dan perbaikan ke arah
yang lebih baik guna mempertahankan mutu dari produk yang dihasilkannya itu,
maka udang asal Indonesia
tetap akan dicari kemana pun dia pergi.
Oleh
karena itu, budi daya udang windu yang selama ini digeluti masyarakat petani tambak
dalam budi daya udang perlu bersyukur lantaran selain harganya yang masih
tergolong tinggi dan disukai banyak orang, juga pesaing dalam artian bahwa
negara yang melakukan budi daya udang windu tergolong sedikit, sehingga peluang
untuk tetap mengembangkan usaha ini tetap menjadi modal utama.
Nah,
negara penghasil udang windu di dunia adalah Thailand ,
Vietnam dan Malaysia . Jadi,
ketiga negara ini yang merupakan saingan berat Indonesia dalam memasok udang
dunia, sehingga ini berarti bahwa peluang untuk budi daya "Si
bongkok" tetap menjanjikan masa depan karena memang ukurannya tergolong
besar-besar.
Apalagi
"si Black Tiger" memang hidupnya di negara-negara Asia Tenggara,
sehingga yang dekat-dekat saja dengan Indonesia menjadi pesaing. Berbeda
dengan udang putih (Vannamei) yang nyata-nyata induknya diekspor dari Amerika
Latin, bahkan dapat dikatakan hampir seluruh dunia dapat mengembangkannya
sehingga pesaingnya juga sangat banyak.
Jadi
untuk mengembangkannya sangat sulit atau paling tidak mengalami sedikit
kendala. Sebab selain induknya didatangkan dari luar negeri, juga ukurannya
kecil-kecil dan kebiasan petani tambak khususnya di daerah ini masih
dipertanyakan, sehingga wajar jika udang windu tetap menjadi perhatian semua
petambak khususnya di Sulawesi Selatan.
Olehnya
itu, yang menjadi perhatian adalah pengadaan induk untuk menghasilkan bibit
(benur). Pasalnya, induk ini sangat menentukan kualitas benur sebab kapan
induknya "sakit" berarti sudah pasti juga bahwa benur yang
dihasilkannya itu juga ikut terkena penyakit. Jangankan induknya sakit, sehat
pun jika benurnya sudah dipindahtangankan, terkadang mengalami sedikit
gangguan.
Dengan
demikian maka Hatchery (tempat pembenihan udang) yang merupakan salah satu
penghasil benur dapat diandalkan oleh masyarakat, karena dalam pemikiran
petambak bahwa hatchery masih lebih baik dari yang lain untuk menghasilkan
benur atau benih udang.
Penggelondong
Dengan
adanya penggelondong, maka dalam hal ini bukan hanya satu-satunya hatchery yang
mesti perhatikan benurnya. Tapi juga setelah pindah tangan atau yang lebih
dikenal masyarakat dengan "penggelondongan" atau pembesaran benur
sebelum ditebar ke tambak.
Penggelondong
(orang/pengusaha) ini biasanya membeli dengan porsi banyak kepada hatchery lalu
menyimpannya di dalam bak atau tambak yang ukuran kecil. Selama penyimpanan
benur tersebut, maka sudah pasti bahwa jaminan untuk kesehatan udang terkadang
disangsikan lagi.
Sebab
kebanyakan para penggelondong ini kurang memperhatikan aspek kesehatan
benurnya. Yang penting "ada uang, ada udang", sehingga masyarakat
yang ingin beli benur ke hatchery yang jumlahnya hanya 1.000-2.000 ekor merasa
berat, karena selain tempatnya jauh juga membutuhkan biaya yang agak besar.
Bahkan juga pihak hatchery terkadang tidak melayani pembeli jika permintaannya
sedikit.
Oleh
karena itu, kebanyakan petambak biasanya membeli benur ke penggelondong.
Pasalnya, selain tempatnya dekat juga jumlah yang akan dibelinya itu relatif
sedikit, sehingga sasarannya ke penggelondongan.
Melihat
animo masyarakat kecil yang ingin budi daya udang di tambak, maka segala upaya
dilakukan mulai dari persiapan lahannya hingga persiapan penebaran, tapi toh
terkadang udang yang dibudidayakan itu tetap terserang penyakit.
Meski
juga pihak hatchery berusaha menghasilkan benur yang baik (berkualitas) dan
bebas dari penyakit, tapi kalau pihak penggelondong kurang memperhatian tentang
kesehatan benurnya, maka tetap petani tambak yang merasakan dampaknya.
Sebaliknya, pihak penggelondong hanya meraup keuntungan semata.
Jadi
yang harus mendapat perhatian dalam kesehatan udang adalah pihak penggelondong,
karena air yang ada di bak atau tambak (tempat penggelondongan) rentan terhadap
penyakit. Betapa tidak, jika sedikit saja air dalam bak penggelondongan terkena
penyakit, lalu benur dari hatchery disimpan sekejap maka sudah pasti bahwa
benur yang akan dibeli petani dan akan ditebar ke tambak juga sudah jelas
terinfeksi atau terkontaminasi oleh penyakit tersebut, meski secara kasak mata
masih kelihatan sehat dan tidak ada masalah karena pergerakannya tetap lincah.
Nah,
jangan heran jika hanya dalam waktu sebulan lebih atau masuk dua bulan
pemeliharaan di tambak, maka benur yang ditebar tadinya sudah mengalami
gangguan alias sudah sakit. Ini menandakan bahwa selain pengusaha hatchery yang
mempertahankan mutunya juga para penggelondong harus menjaga kesehatan udang
tersebut, sehingga kesinambungan hasil budi daya udang windu di Sulawesi
Selatan tetap berlanjut.
Jika
ini semua bisa dipertahankan maka sudah pasti bahwa petambak yang telah
melakukan persiapan lahan dengan matang, juga hatchery dan penggelondong tetap
manjaga kesehatan udangnya, maka hasil yang akan didapatkan para petambak
tersebut akan sesuai dengan harapan banyak orang. Oleh karena itu,
penggelondong juga harus benar-benar selalu memperhatikan semua hal-hal yang
dapat merusak atau merugikan petambak yang sudah lama bergelut di dunia
pertambakan.
Mudah-mudahan
semua pihak tetap mematuhi semua unsur-unsur yang dapat merugikan orang lain,
sehingga sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama maka pihak-pihak
yang terkait dalam usaha budi daya udang windu agar tetap mempertahankan mutu
dan kualitas yang akan dujualnya. Semoga!
Diposkan
oleh Munawaroh,SP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar