Antibiotik
merupakan suatu zat yang bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup,
yaitu mikro-organisme (jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur.
Antibiotik tidak dapat membunuh virus sebab virus memang bukan “barang” hidup.
Sementara
masih kerap terjadi, dokter dengan mudahnya meresepkan antibiotik untuk bayi
dan balita yang hanya sakit flu karena virus. Memang gejala yang menyertai flu
kadang membuat orangtua panik, seperti demam, batuk, pilek. Antibiotik yang
dianggap sebagai “obat dewa”. Pasien irasional seperti ini seperti menuntut
dokter menjadi tukang sihir. Padahal, antibiotik tidak mempercepat, apalagi
melumpuhkan, virus flu.
Sejak
lahir kita sudah dibekali dengan sistem imunitas yang canggih. Ketika diserang
penyakit infeksi, sistem imunitas tubuh terpicu untuk lebih giat lagi. Infeksi
karena virus hanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh
dengan makan baik dan istirahat cukup. Jadi, bukan diberi antibiotik. Antibiotik
yang diberi tidak seharusnya kepada anak malah merusak sistem kekebalan
tubuhnya. Yang terjadi anak malah turun imunitasnya, lalu sakit lagi. Lalu jika
dikasih antibiotik lagi, imunitas turun lagi dan sakit lagi. Terus begitu, dan
kunjungan ke dokter makin sering karena anak tambah mudah sakit. Berbagai
penelitian juga menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini akan
mencetuskan terjadinya alergi di masa yg akan datang.
Sejak
beberapa tahun terakhir, sudah tidak ditemukan lagi antibiotik baru dan lebih
kuat. Sementara kuman terus menjadi semakin canggih dan resisten akibat
penggunaan antibiotik yang irasional.
Bagaimana
cara mengalahkan virus yang semakin ganas bermutasi ??
Solusi
untuk masalah tersebut di atas adalah dengan mengkonsumsi Transfer Factor
Trifactor atau TF Chewable ( tablet hisap yang disukai anak-anak) yang dapat
mendidik sistem Imun menjadi pintar dan meningkatkan system imun sampai 283%
sehingga tidak terjadi kasus flu , batuk , pilek berulang karena sudah
mengenali virus dan menjaga supaya tidak mengganggu kembali.Pada bulan
September 2011 Uni Eropa mengeluarkan peraturan yang mengharuskan semua bahan
pangan, termasuk udang, dikenakan uji kandungan residu antibiotik di setiap
pelabuhan masuk (CD.2001/705/EC). Ketentuan tersebut menekankan pada pengawasan
mutu yang ketat melalui System Rapid Alert System (RAS) dan pemberlakuan “zero
tolerance” terhadap residu antibiotik terlarang pada udang, terutama
chloramphenicol dan derivatnya. Namun tidak hanya pemerintah eropa, pemerintah
Amerika Serikat melalui National Research, Food And Drug Administration (USFDA)
dan pemerintah Arab Saudi telah menetapkan larangan terhadap penggunaan
antibiotik, khusunya chloramphenicol, pada bahan pangan dan telah menerapkan
pencegahan terhadap masuknya impor bahan pangan yang mengandung chloramphenicol
tersebut.
Permasalahan
tersebuut telah mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pihak –pihak yang
terkait (pemerintah, pembudidaya, serta stakeholder terkait). Dibuktikan dengan
dilakukannya monitoring dan evaluasi oleh pihak pemerintah terhadap penggunaan
antibiotik dan bahan kimia terlarang disertai dengan pengujian hasil budidaya
(pemerintah/laboratorium uji, penbudidaya dan stake holder). Keseriusan
terhadap penanganan permasalahan tersebut membuahkan hasil dengan
dikeluarkannya CD 2003/546/EC pada tanggal 22 Juli 2003 oleh pihak Uni Eropa,
yang dimaksudkan untuk mencabut CD 2001/705/EC. Namun hal ini perlu tetap
dicermati dan diwaspadai sehingga hasil perikanan budidaya dapat tetap bersaing
di pasar global.
Bahaya
Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibiotik, khususnya
jenis tetrasiklin dan oksitetrasiklin, pada usaha perikanan budidaya dapat
meninggalkan residu pada hasil budidaya, sehingga akan dapat membahayakan
konsumen. Demikian pula halnya dengan penggunaan antibiotik jenis
chloramphenicol dan nitrofuran. Berdasarkan SK Mentan No.
806/Kpts/TN.2601/12/94 (Kepmen Kelautan dan Perikanan) tentang klasifikasi obat
hewan, antibiotik tetrasiklin; oksitetrasiklin dan derivatnya termasuk dalam
daftar obat keras untuk hewan, dimana pemakaiannya harus sesuai dengan
peraturan atau dapat membahayakan bagi hewan, manusia, dan lingkungan.
Sementara itu, berdasarkan kepmen kelautan dan perikanan No. KEP.20/MEN/2003,
antibiotik jenis chloramphenicol dan nitrofuran termasuk dalam jenis zat aktif
yang dilarang beredar dan dipergunakan sebagai obat ikan.
Chloramphenicol
- Mempunyai daya antimikroba (bakteri)
yang kuat
- Umumnya bersifat bakteriostatik
- Mempunyai efek toksik
- Obat ini merupakan kristal putih yang
sukar larut dalam air (1:400) dan rasanya sangat pahit
- Obat ini digunakan sebagai obat untuk
demam tifoid, meningitis perulenta dan juga infeksi kuman anaerob.
Efek
Samping Dari Chloramphenicol
- Reaksi toksik dapat menyebabkan
depresi sumsum tulang, kelainan darah seperti anemia
- Dapat pula mengakibatkan anemia yang
irreversibel
- Efek samping yang paling berbahaya
adalah “anemia aplastik”
- Penggunaan obat ini juga dapat
mengakibatkan alergi dan juga gangguan pada saluran pencernaan.
(Farmakologi
dan Terapi, Edisi 4/1995)
Nitrofuran
- Merupakan zat aktif dalam melawan
bakteri gram positif dan gram negatif yang terdapat pada organisme pengganggu
- Sangat efektif untuk mengobati
penyakit yang disebabkan oleh bakteri/kuman yang pada umumnya penyebab infeksi
saluran kemih/urine seperti E.coli, Proteus sp.,Klebsiella, Enterobacter,
Enterococcus, Sterptococcus, Clostridia, dan B.suntilis
- Obat ini kurang efektif untuk proteus
mirabilis dan pseudomonas
(Farmakologi
dan Terapi, Edisi 4/1995)
- Termasuk dalam daftar obat keras
untuk hewan
- Penggunaan dan peredarannya telah
dilarang berdasarkan surat edaran ditjen. Peternakan tanggal 9 September 1996,
perihal pelarangan obat hewan golongan nitrofuran dan derivatnya karena
membahayakan bagi hewan dan manusia.
Efek
Samping Dari Nitrofuran
- Hepatitis kronis, neurophatiec,
anemia haemolitik dan pneumonitis (Farmakope Indonesia edisi IV/1995 dan IONI,
Iformatorium Obat Nasional Indonesia 2000)
- Kelainan saraf seperti sakit kepala,
vertigo, nistagmus, dan nyeri otot (Farmakologi dan Terapi, Edisi 4/1995).
Suatu
produk pangan (termasuk ikan/udang) yang terbukti mengandung residu antibiotik
atau bahan kimia terlarang tidak akan menembus pasar ekspor, karena persyaratan
mutu negara-negara tujuan ekspor sangatlah ketat. Hal ini terkait dengan issue
keamanan pangan (food safety). Bila hal ini tidak diantisipasi, maka akan dapat
menghambat ekspor hasil perikanan dari indonesia.
Rekomendasi
teknis
1. Gunakan obat-obatan dan bahan kimia
yang telah terdaftar dan mendapat rekomendasi dari direktorat jenderal
perikanan budidaya,
2. Bekerjasama, dalam hal transfer
teknologi, dengan UPT/UPTD dalam mencari alternative pengganti antibiotik
yangdilarang,
3. Menerapkan cara berbudidaya yang baik
(good aquaculture practices) dalam rangka peningkatan kuantitas dan kualitas
produk budidaya,
4. Sosialisasi, monitoring dan
evaluasiterhadap penggunaan antibiotik dan bahan kimia terlarang dalam
budidaya.
Zat
aktif yang dilarang beredar berdasarkan kepmen KP No. KEP.20/MEN/2003
1. Nitrofuran, termasuk Furazolidone dan
derivatnya,
2. Ronidozol,
3. Dapson,
4. Chloramphenicol, termasuk derivate dan
garam-garamnya,
5. Cholichicin,
6. Chlorpromazone,
7. Trichlorfon,
8. Dimetildazole,
9. Metronidazole,
10. Aristolochia spp.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar