Selasa, 11 Februari 2014

DAMPAK NEGATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK CHLORAMPHENICOL DAN NITROFURAN

Antibiotik merupakan suatu zat yang bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup, yaitu mikro-organisme (jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur. Antibiotik tidak dapat membunuh virus sebab virus memang bukan “barang” hidup.
Sementara masih kerap terjadi, dokter dengan mudahnya meresepkan antibiotik untuk bayi dan balita yang hanya sakit flu karena virus. Memang gejala yang menyertai flu kadang membuat orangtua panik, seperti demam, batuk, pilek. Antibiotik yang dianggap sebagai “obat dewa”. Pasien irasional seperti ini seperti menuntut dokter menjadi tukang sihir. Padahal, antibiotik tidak mempercepat, apalagi melumpuhkan, virus flu.
Sejak lahir kita sudah dibekali dengan sistem imunitas yang canggih. Ketika diserang penyakit infeksi, sistem imunitas tubuh terpicu untuk lebih giat lagi. Infeksi karena virus hanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh dengan makan baik dan istirahat cukup. Jadi, bukan diberi antibiotik. Antibiotik yang diberi tidak seharusnya kepada anak malah merusak sistem kekebalan tubuhnya. Yang terjadi anak malah turun imunitasnya, lalu sakit lagi. Lalu jika dikasih antibiotik lagi, imunitas turun lagi dan sakit lagi. Terus begitu, dan kunjungan ke dokter makin sering karena anak tambah mudah sakit. Berbagai penelitian juga menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini akan mencetuskan terjadinya alergi di masa yg akan datang.
Sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak ditemukan lagi antibiotik baru dan lebih kuat. Sementara kuman terus menjadi semakin canggih dan resisten akibat penggunaan antibiotik yang irasional.
Bagaimana cara mengalahkan virus yang semakin ganas bermutasi ??
Solusi untuk masalah tersebut di atas adalah dengan mengkonsumsi Transfer Factor Trifactor atau TF Chewable ( tablet hisap yang disukai anak-anak) yang dapat mendidik sistem Imun menjadi pintar dan meningkatkan system imun sampai 283% sehingga tidak terjadi kasus flu , batuk , pilek berulang karena sudah mengenali virus dan menjaga supaya tidak mengganggu kembali.Pada bulan September 2011 Uni Eropa mengeluarkan peraturan yang mengharuskan semua bahan pangan, termasuk udang, dikenakan uji kandungan residu antibiotik di setiap pelabuhan masuk (CD.2001/705/EC). Ketentuan tersebut menekankan pada pengawasan mutu yang ketat melalui System Rapid Alert System (RAS) dan pemberlakuan “zero tolerance” terhadap residu antibiotik terlarang pada udang, terutama chloramphenicol dan derivatnya. Namun tidak hanya pemerintah eropa, pemerintah Amerika Serikat melalui National Research, Food And Drug Administration (USFDA) dan pemerintah Arab Saudi telah menetapkan larangan terhadap penggunaan antibiotik, khusunya chloramphenicol, pada bahan pangan dan telah menerapkan pencegahan terhadap masuknya impor bahan pangan yang mengandung chloramphenicol tersebut.
Permasalahan tersebuut telah mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pihak –pihak yang terkait (pemerintah, pembudidaya, serta stakeholder terkait). Dibuktikan dengan dilakukannya monitoring dan evaluasi oleh pihak pemerintah terhadap penggunaan antibiotik dan bahan kimia terlarang disertai dengan pengujian hasil budidaya (pemerintah/laboratorium uji, penbudidaya dan stake holder). Keseriusan terhadap penanganan permasalahan tersebut membuahkan hasil dengan dikeluarkannya CD 2003/546/EC pada tanggal 22 Juli 2003 oleh pihak Uni Eropa, yang dimaksudkan untuk mencabut CD 2001/705/EC. Namun hal ini perlu tetap dicermati dan diwaspadai sehingga hasil perikanan budidaya dapat tetap bersaing di pasar global.
Bahaya Penggunaan Antibiotik
            Penggunaan antibiotik, khususnya jenis tetrasiklin dan oksitetrasiklin, pada usaha perikanan budidaya dapat meninggalkan residu pada hasil budidaya, sehingga akan dapat membahayakan konsumen. Demikian pula halnya dengan penggunaan antibiotik jenis chloramphenicol dan nitrofuran. Berdasarkan SK Mentan No. 806/Kpts/TN.2601/12/94 (Kepmen Kelautan dan Perikanan) tentang klasifikasi obat hewan, antibiotik tetrasiklin; oksitetrasiklin dan derivatnya termasuk dalam daftar obat keras untuk hewan, dimana pemakaiannya harus sesuai dengan peraturan atau dapat membahayakan bagi hewan, manusia, dan lingkungan. Sementara itu, berdasarkan kepmen kelautan dan perikanan No. KEP.20/MEN/2003, antibiotik jenis chloramphenicol dan nitrofuran termasuk dalam jenis zat aktif yang dilarang beredar dan dipergunakan sebagai obat ikan.
Chloramphenicol
-          Mempunyai daya antimikroba (bakteri) yang kuat
-          Umumnya bersifat bakteriostatik
-          Mempunyai efek toksik
-          Obat ini merupakan kristal putih yang sukar larut dalam air (1:400) dan rasanya sangat pahit
-          Obat ini digunakan sebagai obat untuk demam tifoid, meningitis perulenta dan juga infeksi kuman anaerob.
Efek Samping Dari Chloramphenicol
-         Reaksi toksik dapat menyebabkan depresi sumsum tulang, kelainan darah seperti anemia
-         Dapat pula mengakibatkan anemia yang irreversibel
-         Efek samping yang paling berbahaya adalah “anemia aplastik”
-         Penggunaan obat ini juga dapat mengakibatkan alergi dan juga gangguan pada saluran pencernaan.
(Farmakologi dan Terapi, Edisi 4/1995)
Nitrofuran
-          Merupakan zat aktif dalam melawan bakteri gram positif dan gram negatif yang terdapat pada organisme pengganggu
-          Sangat efektif untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri/kuman yang pada umumnya penyebab infeksi saluran kemih/urine seperti E.coli, Proteus sp.,Klebsiella, Enterobacter, Enterococcus, Sterptococcus, Clostridia, dan B.suntilis
-          Obat ini kurang efektif untuk proteus mirabilis dan pseudomonas
(Farmakologi dan Terapi, Edisi 4/1995)
-          Termasuk dalam daftar obat keras untuk hewan
-          Penggunaan dan peredarannya telah dilarang berdasarkan surat edaran ditjen. Peternakan tanggal 9 September 1996, perihal pelarangan obat hewan golongan nitrofuran dan derivatnya karena membahayakan bagi hewan dan manusia.
Efek Samping Dari Nitrofuran
-          Hepatitis kronis, neurophatiec, anemia haemolitik dan pneumonitis (Farmakope Indonesia edisi IV/1995 dan IONI, Iformatorium Obat Nasional Indonesia 2000)
-          Kelainan saraf seperti sakit kepala, vertigo, nistagmus, dan nyeri otot (Farmakologi dan Terapi, Edisi 4/1995).
Suatu produk pangan (termasuk ikan/udang) yang terbukti mengandung residu antibiotik atau bahan kimia terlarang tidak akan menembus pasar ekspor, karena persyaratan mutu negara-negara tujuan ekspor sangatlah ketat. Hal ini terkait dengan issue keamanan pangan (food safety). Bila hal ini tidak diantisipasi, maka akan dapat menghambat ekspor hasil perikanan dari indonesia.
Rekomendasi teknis
1.         Gunakan obat-obatan dan bahan kimia yang telah terdaftar dan mendapat rekomendasi dari direktorat jenderal perikanan budidaya,
2.         Bekerjasama, dalam hal transfer teknologi, dengan UPT/UPTD dalam mencari alternative pengganti antibiotik yangdilarang,
3.         Menerapkan cara berbudidaya yang baik (good aquaculture practices) dalam rangka peningkatan kuantitas dan kualitas produk budidaya,
4.         Sosialisasi, monitoring dan evaluasiterhadap penggunaan antibiotik dan bahan kimia terlarang dalam budidaya.
Zat aktif yang dilarang beredar berdasarkan kepmen KP No. KEP.20/MEN/2003
1.         Nitrofuran, termasuk Furazolidone dan derivatnya,
2.         Ronidozol,
3.         Dapson,
4.         Chloramphenicol, termasuk derivate dan garam-garamnya,
5.         Cholichicin,
6.         Chlorpromazone,
7.         Trichlorfon,
8.         Dimetildazole,
9.         Metronidazole,
10.       Aristolochia spp.