Latar Belakang
Indonesia merupakan
Negara kepulauan dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan juga
memiliki lebih dari 17.504 pulau. Keadaan tersebut menjadikan Indonesia
termasuk kedalam Negara yang memiliki kekayaan sumberdaya perairan yang tinggi
dengan sumberdaya hayati perairan yang sangat beranekaragam. Keanekaragaman
sumberdaya perairan Indonesia meliputi sumberdaya ikan maupun sumberdaya
terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki Indonesia luasnya sekitar 7000 km2
dan memiliki lebih dari 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan.
Luasnya daerah karang yang ada menjadikan Indonesia sebagai Negara yang
memiliki kenekaragaman ikan yang tinggi khususnya ikan-ikan karang yaitu lebih
dari1.650 jenis spesie ikan (Burke et al, 2002 dalam Zainarlan, 2007).
Kekayaan
sumberdayahayati perairan Indonesia yang tinggi akan sangat bermanfaat jika
dilakukan pemanfaatan secara optimal dan bertanggung jawab. Pemanfaatan
sumberdayahati perairan ini dapat dilakukan melalui proses penangkapan yang
bertanggung jawab. Penangkapan ikan yang dilakukan adalah proses pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang bersifat ekonomis dari perairan secara bertanggung
jawab. Dalam melakukan proses penangkapan, nelayan harus mengikuti peraturan
yang berlaku. Salah satu peraturan yang mengatur mengenai kegiatan penangkapan
adalah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yaitu prinsip-prinsip
tatalaksana perikanan yang bertanggungjawab. Tatalaksana ini menjadi asas dan
standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek penangkapan yang
bertanggung jawab dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk
menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif
sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian.
Proses pemanfaatan
sumberdaya perikanan di Indonesia khususnya untuk ikan-ikan karang saat ini
banyak yang tidak sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF). Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya kebutuhan dan permintaan
pasar untuk ikan-ikan karang serta persaingan yang semakin meningkat. Keadaan
tersebut menyebabkan nelayan melakukan kegiatan eksploitasi terhadap ikan-ikan
karang secara besar-besaran dengan menggunakan berbagai cara yang tidak sesuai
dengan kode etik perikanan yang bertanggung jawab. cara yang umumnya digunakan
oleh nelayan adalah melakukan illegal fishing yang meliputi pemboman,
pembiusan, dan penggunaan alat tangkap trawl. Semua cara yang dilakukan oleh
nelayan ini semata-mata hanya menguntungkan untuk nelayan dan
Terumbu Karang dan
Fungsinya
Terumbu karang (coral
reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang
jernih, hangat (lebih dari 22oC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat)
tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. Kalsium
Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh organisme karang (filum
Scnedaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur, dan
organisme lain yang mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).
Arah perkembangan
terumbu organik dikontrol oleh keseimbangan ketiga faktor yaitu hidrologis,
batimetris, dan biologis. Jika ketiga faktor
seimbang, terumbu
berkembang secara radial dan akan terbentuk terumbu paparan dan apabila
pertumbuhan ini berlanjut akan terbentuk terumbu pelataran bergoba. Namun jika
perkembangan radial dibatasi oleh kondisi batimetri akan terbentuk terumbu
paparan lonjong. Terumbu yang terakhir ini tidak membentuk lagun yang benar dan
depresi menyudut merupakan penyebaran pasir. Sedangkan terumbu paparan dinding
terbentuk pada kondisi batimetris dan hidrologis tidak simetris, di mana
perkembangan terumbu terbatas pada satu atau dua arah. Kondisi ini akan
menghasilkan perkembangan terumbu secara linier, dan membentuk terumbu dinding
berupa terumbu dinding tanduk dan terumbu dinding garpu. Terbentuknya terumbu
dinding garpu ini menunjukkan adanya arus pasang surut yang kuat. (Zuidam,
1985).
Terumbu karang dapat
berkembang dan membentuk suatu pulau kecil. Dari lima jenis pulau yaitu Pulau
Benua (Continental Islands), Pulau Vulkanik (Volcanic Islands), Pulau Daratan
Rendah (Low Islands) , Pulau Karang Timbul (Raised Coral Islands), dan Pulau
Atol (Atolls), dua yang terakhir terbentuk dari terumbu karang. Di sisi lain,
dari sepuluh jenis bentuklahan (Zuidam, 1985, dan F-G UGM & Bakosurtanal,
2000), terumbu karang adalah salah satunya. Bentuklahan (landforms) ini adalah
bentuklahan organik yaitu berupa binatang. Bentuk lain yang berhubungan dengan
terumbu karang adalah bentuklahan karst, yaitu terbentuk melalui proses
karstifikasi pada batuan kalsium karbonat. Namun bentuklahan karst ini
terbentuk secara alami melalui proses eksogenik dan endogenik dan berlangsung
pada skala besar (Thornbury, 1954). Sedangkan terumbu karang terbentuk secara
organik dan relatif perlahan sehingga lebih dimungkinkan adanya campur tangan
manusia dalam pertumbuhannya. Hasil identifikasi bentuklahan mencerminkan
karakteristik fisik lahan dan untuk mendapatkannya dengan melalui analisis
geomorfologis. Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan dan
proses-proses yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan
timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan
keruangan (Zuidam, 1985).
Trumbu karang mempunyai
fungsi yang amat penting bagi kehidupan laut. Fungsi-fungsi
tersebut diantaranya:
“ Sebagai Spawning
Ground dan Nursery Ground. Secara alami, terumbu karang merupakan habitat bagi
banyak spesies laut untuk melakukan pemijahan, peneluran, pembesaran anak,
makan dan mencari makan (feeding & foraging), terutama bagi sejumlah
spesies yang memiliki nilai ekonomis penting. Sebagai pelindung sempadan
pantai, dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan hutan mangrove) dari
terjangan arus kuat dan gelombang besar”.
2.2 Kegiatan dan Dampak
dari Illegal Fishing
Illegal fishing
merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tidak bertanggung
jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab Illegal
fishing termasuk kegiatan mall praktek dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
yang merupakan kegiatan pelanggaran hukum. Kegiatan illegal fishing umumnya
bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata
hanya akan memberikan dampak yang kurang baik baik ekosistem perairan akan
tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Dalam kegiatan
panangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang bersifat
merusak yang dilakukan oleh nelayan khususnya nelayan traditional. Untuk
menangkap sebanyak-banyaknya ikan-ikan karang yang banyak digolongkan kedalam
kegiatan illegal fishing karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata
memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut dampak berdampak kerusakan
untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan
penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan
alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan
pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap
trawl pada daerah yang karang.
Kegiatan penangkapan
dengan menggunakan bahan peledak
Penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak merupakan cara yang sering digunakan oleh nelayan
traditional didalam memanfaatkan sumberdaya perikanan khususnya didalam
melakukan penangkapan ikan-ikan karang. Penangkapan ikan-ikan karang dengan
menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat yang kurang baik baik bagi
ikan-ikan yang akan ditangkap maupun untuk karang yang terdapat pada lokasi
penangkapan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah
terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya
terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan
kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu,
penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap
ekosistem terumbu karang.
Penggunaan bahan peledak
di daerah terumbu karang akan menghancurkan struktur terumbu karang dan dapat
meninggalkan gunungan serpihan karang hingga beberapa meter lebarnya (Hamid,
2007). Selain memberi dampak yang buruk untuk karang, kegiatan penangkapan
dengan menggunkan bahan peledak juga berakibat buruk untuk ikan-ikan yang ada.
Ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan bahan meledak umumnya tidak
memiliki kesegaran yang sama dengan ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan
alat tangkap ramah lingkungan.
Walaupun demikian
adanya, nelayan masih tetap menggunakan bahan peledak didalam melakukan
kegiatan penangkapan karena hasil yang mereka peroleh cendrung lebih besar dan
cara yang dilakukan untuk melakukan proses penangkapan tergolong mudah.
Kegiatan penangkapan
dengan menggunakan bahan beracun
Selain penggunaan bahan
peledak didalam penangkapan ikan diderah karang, kegiatan yang marak dilakukan
oleh nelayan adalah dengan menggunakan obat bius atau bahan beracun lainnya.
Bahan beracun yang umum dipergunakan dalam penangkapan ikan dengan pembiusan
seperti sodium atau potassium sianida. Seiring dengan meningkatnya permintaan
konsumen terhadap ikan hias dan hidup memicu nelayan untuk melakukan kegiatan
penangkapan yang merusak dengan menggunakan racun sianida. Kegiatan ini umum
dilakukan oleh nelayan untuk memperoleh ikan hidup.
Hasil yang diperoleh
dengan cara ini memang merupakan ikan yang masih hidup kan tetapi penggunaannya
pada daerah karang memberikan dampak yang sangat besar bagi terumbu karang.
Selain itu penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis
ikan karang tertentu. Racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil
menjadi mabuk dan mati. Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun
dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai
dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama
kelamaan karang menjadi mati. Indikatornya adalah karang mati
Kegiatan penangkapan
dengan menggunakan alat tangkap trawl
Kegiatan lain yang termasuk
kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap trawl pada
daerah karang. Kegiatan ini merupakan
kegiatan penangkapan
yang bersifat merusak dan tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap trawl
pada daerah karang dapat dilihat pada kasus yang terjadi di perairan Bagan
Siapi-Api Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo Provinsi Sulawesi
Tenggara. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, penggunaan alat tangkap ini
sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena alat tangkap tersebut termasuk
kedalam alat tangkap yang sangat tidak ramah lingkungan karena memiliki
selektifitas alat tangkap yang sangat buruk. Nelayan di sulawesi Utara cendrung
tidak memperdulikan hukum yang ada. Mereka tetap melakukan proses penangkapan
dengan menggunakan alat tangkap trawl. Alat yang
umumnya digunakan oleh
nelayan berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring
yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil
sampai dengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan
jaring tersebut.
Cara kerjanya alat
tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. Akibat
penggunaan pukat harimau secara terus menerus
menyebabkan kepunahan
terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan ikan-ikan
kecil yang belum memijah tertangkap oleh alat ini sehingga tidak memiliki
kesempatan untuk memijah dan memperbanyak spesiesnya. Selain hal tersebut,
dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan alat tangkap ini pada daerah karang
adalah rusaknya terumbu karang akibat tersangkut ataupun terbawa jarring.
Jarring yang tersangkut akann menjadi patah dan akhirnya menghambat pertumbuhan
dari karang itu sendiri. Apabila hal ini terus berlanjut maka ekosistem karang
akan mengalami kerusakan secara besar-besaran dan berakibat pada punahnya
ikan-ikann yang berhabitat pada daerah karang tersebut.
Beberapa Contoh
Kerusakan Terumbu Karang di Indonesia
Kerusakan karang akibat
penggunaan bahan beracun khususnya dengan menggunakan sianida dapat dilihat
dari kasus pulau Panambungan di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data penelitian
yang dilakukan pada tahun 2007 di ketahui bahwa di pulau Panambungan secara
umum terumbu karangnya berada dalam kondisi rusak. Kerusakan ini diakibatkan
oleh penggunaan bahan beracun pada saat melakukan kegiatan penangkapan. Keadaan
ini diperkuat lagi karena sebagian wilayah pulau ini tidak berpenghuni sehingga
tidak adanya pengawasan dan memberikan ruang gerak kepada nelayan untuk
melakukan penangkapan illegal fishing secara leluasa.
Informasi dari instansi terkait di beberapa
daerah pesisir utara jawa menyebutkan. Kabupaten Batang, kawasan terumbu karang
Kretek. Berdasarkan hasil survei, persentase tutupan karang keras yang masih
hidup hanya sebesar 6%. Karang yang dijumpai pada transek hanya satu jenis,
yaitu Porites lobata, dengan bentuk pertumbuhan massive (batu bulat besar) dan
submassive Suara Merdeka, 2008).
Kondisi terumbu karang di P. Panjang
Kabupaten Jepara, termasuk dalam kondisi rusak. Hasil ini menunjukkan penurunan
dari penelitian yang dilakukan oleh Haryono (2001) dan Lutfi (2003). Penelitian
yang dilakukan oleh Haryono pada tahun 2001 menunjukkan kondisi terumbu karang
di P. Panjang dalam keadaan baik dengan persentase penutupan karang sebesar
49,46%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lutfi (2003) menunjukkan
penurunan dengan penutupan karang hidup yang hanya sebesar 19,08 %. Hal ini
mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di Pulau Panjang mengalami penurunan
dari tahun ke tahun.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai
Konservasi Biota Laut Ambon dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Augy Syahailatua, mengatakan saat ini tinggal 10 persen terumbu karang di
wilayah perairan Maluku yang masih bagus. Sedangkan sisanya rusak.
Sekitar 50 persen terumbu karang di
Provinsi Bangka Belitung (Babel) rusak akibat sedimentasi lumpur yang berasal
dari aktivitas penambangan timah di perairan provinsi kepulauan berpenduduk 1,2
juta jiwa tersebut. Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang, Universitas Bangka
Belitung (UBB), Indra Ambalika di Pangkalpinang, menjelaskan kerusakan terjadi
akibat terumbu karang tertutup lumpur terkait kegiatan kapal isap dan tambang
inkonvensional (TI) apung yang terus menyedot timah di wilayah perairan.
Solusi Yang Telah
Diajukan Dalam Jangka Panjang Yaitu COREMAP
COREMAP (Coral Reef
Rehabilitation and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan
Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang diprakarsai oleh
Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan
mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di
Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang kesejahteraan masyarakat
pesisir.
Pentahapan
COREMAP pada awalnya
direncanakan untuk 15 tahun, yang terdiri dari tiga tahap, yang berturut-turut
mempunyai tujuan sebagai berikut:
Tahap I, Tahap Inisiasi
(1998 – 2001): untuk menetapkan landasan kerangka kerja sistem nasional terumbu
karang;
Tahap II, Tahap
Akselerasi (2001 – 2007): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang
yang andal di daerah-daerah prioritas;
Tahap III, Tahap
Pelembagaan (2007 – 2013): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang
yang andal dan operasional, dengan pelaksanaan terdesentralisasi, dan telah
melembaga.
Setelah COREMAP dimulai
kemudian terjadi perubahan besar dalam tata pemerintahan di Indonesia, dimana
pemenrintahan yang sebelumnya mempunyai kewenangan yang sangat sentralistik
menjadi terdesentralisasi. Sebagai akibatnya, implementasi program juga harus
disesuaikan, dengan perubahan pentahapan sebagai berikut:
- Tahap I, Tahap Inisiasi (1998 – 2004);
- Tahap II , Tahap
Desentralisasi dan Akselerasi (2004 – 2009)
- Tahap III, Tahap
Pelembagaan (2010 – 2015).
Tujuan dan Kegunaan
Agar pengelolaan
sumberdaya dapat terlaksana dengan baik, maka dibutuhkan sebuah rencana
pengelolaan yang merupakan perwujudan dari rencana Pemerintah Desa dan
masyarakat yang sejalan dengan strategi Pembangunan Daerah. Pembuatan Rencana
Pengelolaan Terumbu Karang sebagai salah satu kegiatan pada program COREMAP II
bertujuan untuk;
1.Memberikan arahan
yang jelas dalam pengelolaan sumberdaya desa, agar sasaran pengelolaan dapat
dicapai sesuai dengan yang diinginkan.
2.Mendukung program
Pemerintah Desa dan Daerah dalam meletakkan dasar pembangunan
3.Menumbuh kembangkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam membuat rencana, melaksanakan dan
mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya terumbukarang serta sumberdaya
lainnya secara mandiri dan berkelanjutan.
Kegunaan dari kegiatan
pembentukan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang ini adalah;
1.Menjadi acuan
pelaksanaan pembangunan desa khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan
laut secara berkelanjutan
2.Sebagai dasar dalam
upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pada masyarakat desa disamping
peningkatan kelembagaan ditingkat desa, baik yang telah lama terbentuk maupun
lembaga yang baru dibentuk
3.Sebagai pendukung
dalam upaya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa khususnya
Visi Program
Apa yang diharapkan
setelah program ini berakhir:
- Kekayaan terumbu karang dan ekosistem
terkait dapat dilestarikan;
- Masyarakatpesisir mencapai keseimbangan
antara lingkungan hidup dan kesejahteraan mereka;
- Masyarakat pesisir telah berdaya untuk
melindungi sendiri lingkungan mereka;
- Masyarakat pesisir tidak lagi terasing
dari pembangunan;
- Kesadaran dan perilaku masyarakat
semakin baik terhadap terumbu karang;
- Orang luar dapat menghargai apa yang
telah dilakukan masyarakat untuk melindungi terumbu karang;
- Terciptanya pendekatan kerjasama dan
partisipasi antara masyarakat, LSM, dan Pemerintah, untuk mencapai tujuan
bersama;
- Perilaku destruktif (seperti pemboman)
telah merupakan masa lalu;
- Nelayan telah dapat memanen ikan tak
jauh dari pantai, tak perlu lagi berlayar jauh untuk itu;
- Anak-anak dapat bermain di pantai yang
indah.
2.5 Pencapaian COREMAP
II Sekarang
Tahun 2011 ini
merupakan tahun terakhir implementasi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan
Terumbu Karang Tahap II (COREMAP II) di Indonesia. Coremap tahap II merupakan
fase Akselerasi untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal
di daerah-daerah prioritas, yang merupakan kelanjutan dari COREMAP tahap I
(Inisiasi). Pasca COREMAP II, bagian akhir tahapan program COREMAP adalah
COREMAP III (Institusionalisasi), yang bertujuan untuk menetapkan system
pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, secara desentralisasi
dan melembaga.
Tahun terakhir COREMAP
tahap II ini merupakan tahun yang kritis, diharapkan tidak terjadi penundaan
yang mengakibatkan tidak terlaksananya kegiatan, sehingga tujuan yang telah
digagas COREMAP II dapat terpenuhi melalui beberapa rangkaian aktivitas telah direncanakan,
tentunya dengan pengalokasian anggaran yang juga harus cermat. Sebagai penutup
rangkaian perjalanan 8 (delapan) tahun program COREMAP II, hasil-hasil capaian
program ini akan dikompilasi. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dan mata
pencaharian alternatif yang langsung masyarakat desa ditingkatkan, penguatan
kapasitas, percontohan di lokasi program, penguatan pengelolaan kawasan
konservasi perairan serta target-target yang belum tercapai lebih difokuskan
penggarapannya. Seluruh kegiatan diharapkan dapat tercapai pada Oktober 2011,
karena pada awal November tahun ini direncanakan akan menggelar penutupan
COREMAP II sebagai sebuah puncak pencapaian. Ringkasnya, pada tahun ini paling
tidak ada tiga hal yang dilakukan, yang pertama: mengejar target yang belum
tercapai, kedua: mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan program secara
keseluruhan dan ketiga: menyiapkan exit strategy dan keberlanjutan program
(COREMAP III). Mudah-mudahan ketiganya dapat secara simultan dilaksanakan.
Sejauh ini pencapaian
program COREMAP II hampir memenuhi seluruh tujuan pada tahapan akselerasi ini,
khususnya pencapaian pada tiga komponen penting dalam program Coremap, dapat
dijaabarkan sebagai berikut: PERTAMA adalah, Penguatan kelembagaan, dan
pengembangan kawasan konservasi perairan laut daerah., Upaya Penguatan
Kelembagaan Pengelolaan Terumbu Karang
di tingkat pusat dan daerah, telah tercapai melalui kegiatan asistensi
dan koordinasi yang terus dilakukan.
COREMAP telah dan terus mendorong diterbitkannya
Peraturan Daerah dan
Rencana Strategis daerah dalam Pengelolaan Terumbu Karang, Sampai saat ini
sedikitnya 7 (tujuh) Peraturan daerah kabupaten/kota dan 15 (lima belas)
Rencana Strategis telah disyahkan dan diadopsi oleh pemerintah daerah. Saat ini
telah dicadangkan lebih dari 2 juta
hektar Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Daerah di 10 lokasi program, dan lebih
dari 430 daerah perlindungan laut yang telah terbentuk dan dikelola secara
efektif oleh masyarakat. Terbentuknya sistem informasi pengelolaan ekosistem
terumbu karang
Terlaksananya Sistem
Pengawasan Berbasis Masyarakat dan POKMASWAS, serta terlaksananya monitoring
ekologi dan sosek secara berkala (CRITC Pusat dan Daerah); KEDUA adalah
komponen Pengelolaan Terumbu Karang berbasis masyarakat, ini meliputi:
Pelatihan
Perikanan Terumbu
Karang secara berkelanjutan, pemasaran Sosial Pengelolaan Terumbu Karang,
pembangunan infrastruktur sosial pendukung, penciptaan mata pencaharian
alternatif/MPA (lebih dari 4500 kegiatan MPA); Fasilitasi di Desa dan Bantuan
Teknis; Tersedianya sarana dan prasarana sosial (Fasilitas Kebersihan, Pondok
Informasi, Jetty, Perahu dll), Pembentukan Pusat Informasi Terumbu Karang di
desa, dalam hitungan angka, sampai saat ini telah terbentuk 411 LPSTK dan sekitar 2000 POKMAS dengan jumlah anggota
25.000 orang, adanya sistem pendanaan skala mikro di Masyarakat (Seed Fund) dan
Village Grant, terbentuknya 430 DPL berbasis masyarakat beserta Perdes,
berkurangnya kegiatan penangkapan destruktif secara signifikan, serta adanya
dukungan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan.kegiatan ini telah
dilaksanakan di lebih dari 300 desa, dan
dibantu oleh 728 fasilitator dan 8 NGO di 15 lokasi COREMAP. KETIGA, kegiatan Penyadaran Masyarakat dan
Pendidikan maupun kemitraan bahari. Melalui ketiga komponen penting tersebut
COREMAP II telah menunjukkan perannya untuk turut mengelola terumbu karang bagi
perikanan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Beberapa capaian
diantaranya:
Langkah Strategis yang
Seharusnya Dilakukan
COREMAP memang memiliki
tujuan dan visi program yang sangat baik dalam menjaga ekosistem terumbu
karang. Tapi akar masalah yang sebenarnya yang terletak pada nelayan sendiri
seakan belum bisa ditangani dengan maksimal. Yaitu masalah dasar pola pikir
nelayan, ketidaktahuan, dan yang paling utama adalah kesejahteraan. Nelayan sering
tetap tidak peduli walau dilakukan penyuluhan akibat mengutamakan kesejahteraan
mereka. Dan mereka terlihat semakin leluasa akibat walau ada peraturan dan
hukum mereka tetap bisa leluasa melakukan aksinya dan pemasokan bahan baku alat
tangkap ilegal itu tetap dengan mudah nelayan dapat peroleh. Pragram ini
selayaknya akan sukses bila pemerintah atau penyelengara program ini dapat
lebih dekat dan mengenal kondisi nelayan masa kini. Dan juga perlu memperoleh
dukungan dari penegak hukum dan dukungan dari perhatian pemerintah.
Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya kegiatan illegal fishing baik secara internal maupun
secara eksternal. Faktor-faktor yang menyebabkan kegiatan ini dapat terjadi
meliputi adanya pelaku kegiatan yang didasari karena kurangnya kesadaran akan
pentingnya sumberdaya perikanan, adanya pasokan bahan baku khususnya untuk
kegiatan pemboman dan kegiatan pembiusan, Lemahnya informasi dan pengetahuan
yang dimiliki nelayan tentang kerugian yang ditimbulkan akibat illegal fishing,
kemiskinan masyarakat nelayan, lemahnya hukum tentang perikanan, dan kurangnya
armada perikanan yang dimiliki.
Sebenarnya akar
permasalahan kerusakan terumbu karang meliputi empat hal yaitu :
(1) Kemiskinan
masyarakat dan ketiadaan matapencaharian alternatif
(2) ketidaktahuan dan
ketidaksadaran masyarakat dan pengguna
(3) lemahnya penegakan
hukum (law enforcement) dan
(4) kebijakan
pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem
alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu
karang.
Umumnya Semua faktor
yang ada harus segera dicarikan pemecahan yang baik sehingga kegiatan illegal
fishing yang terjadi dapat cepat teratasi dan tidak lagi merusak keadaan
ekosistem perairan terutama kehidupan ekosistem karang. Apabila faktor tersebut
tidak diatasi dengan baik maka diperkirakan dalam beberapa tahun kedepan akan
terjadi kerusakan ekosistem perairan secara besar-besaran khususnya daerah
karang yang berdampak pada turunnya produktifitas dari perikanan tangkap khususnya
pada daerah karang.
Antisipasi yang dapat
dilakukan terhadap illegal fishing
Dalam menanggulangi
permasalahan illegal fishing yang ada sehingga tidak berkelanjutan dan
menyebabkan kerusakan yang berdampak besar maka diperlukan solusi yang tepat
untuk menekan terjadinya kegiatan tersebut seperti:
1) peningkatan
kesadaran masyarakat nelayan akan bahaya yang ditimbulkan dari
illegal fishing.
2) peningkatan
pemahaman dan pengetahuan nelayan tentang illegal fishing.
3) melakukan
rehabilitasi terumbu karang.
4) membuat alternatife
habitat karang sebagai habitat ikan sehingga daerah karang alami tidak rusak
akibat penangkapan ikan.
5) mencari akar
penyebab dari masing-masing masalah yang timbul dan mencarikan solusi yang
tepat untuk mengatasinya.
6) melakukan penegakan
hukum mengenai perikanan khususnya dalam hal pemanfaatan
yang bertanggung jawab.
7) meningkatkan
pengawasan dengan membuat badabn khusus yang menangani dan bertanggung jawab
terhadap kegiatan illegal fishing.
Dari ketujuh solusi
yang dapat dilakukan, hal yang paling mendasar untuk diatasi adalah peningkatan
kesadaran dan pengetahuan masyarakat nelayan mengenai illegal. Peningkatan
kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya penyuluhan ke wilayah
nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah pesisir. Agar betul-betul
bisa langsung menyerang akar permasalahan dan menanamkan kesadaran sejak awal
untuk menjaga terumbu karang. Tapi penyuluhan itu tidak akan dapat bertahan
lama jika akar dari semua masalah itu tidak segera di selesaikan yaitu faktor
kemiskinan.
Tapi semua solusi di
atas masih kurang maksimal karena pemerintah yang belum menunjukkan perhatian
yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan
pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya penegakan hukum (law
enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini berubah kita semua
harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut mengawasi penegakan
hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang, dan terus
menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa pentingnya terumbu
karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti.
III.KESIMPULAN
Dengan meningkatkan
kesadaran nelayan maka pemikiran nelayan akan terbuka dan nelayan akan mengerti
betapa merugikannya melakukan kegiatan illegal fishing dalam proses penangkapan
ikan khususnya pada daerah karang sehingga kegiatan penangkapan tersebut dapat
beralih menjadi penangkapan yang ramah lingkungan dan menjadikan ekosistem
perairan khususnya ekosistem terumbu karang tempat dimana dilakukannya proses
penangkapan dapat lestari. Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya
penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah
pesisir. Agar betul-betul bisa langsung menyerang akar permasalahan dan
menanamkan kesadaran sejak awal untuk menjaga terumbu karang.
Walau kesadaran sudah
tercipta tapi tetap tidak akan bertahan lama jika masalah kesejahteraan nelayan
tidak segera ditangani. Oleh sebab itu sangat membutuhkan campur tangan
pemerintah karena memang sudah seharusnya begitu.Dengan adanya bantuan
pemerintah yang tepat sasaran maka peningkatan kesejahteraan nelayan sudah
tidak jadi sekedar impian lagi tapi dapat diwujudkan.
Sekarang tindakan nyata
yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan illegal fishing pada
ikan-ikan karang khususnya untuk memperbaiki daerah karang yang rusak adalah
dengan melakukan transpalasi karang ataupun pembuatan terumbu karang buatan.
Terumbu karang buatan adalah suatu struktur yang dibangun untuk menyediakan
lingkungan, habitat, sumber makanan, tempat pemijahan dan asuhan, serta
perlindungan pantai sebagaimana halnya terumbu karang alam.
Karena pemerintah yang
belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan
kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan
lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu
hal ini berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat
turut mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu
karang, dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa
pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti. Dengan
Terlaksananya semua hal di atas pasti akan memberikan dampak nyata pada nelayan
dan kelestarian terumbu karang walau mungkin tidak dalam waktu singkat untuk
menyelesaikan masalah ini sepenuhnya.