Minggu, 07 Desember 2014

MENGENAL POTENSI IKAN TENGGIRI DAN PENANGKAPANYA




Perikanan pancing ulur merupakan salah satu usaha perikanan rakyat yang memiliki konstruksi sederhana dan cara pengoperasian yang mudah dan simpel. Hal ini menyebabkan pancing ulur menjadi salah satu alat tangkap yang dominan dioperasikan di pulau Tambelan dan menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan, sebagai upaya memaksimalkan hasil tangkapannya.
Rumpon merupakan tempat berlindung dan mencari makan ikan-ikan pelagis (Subani,
1986), seperti layang, madidihang, tuna mata besar, tuna sirip kuning, tongkol, dan tenggiri. Jenis-jenis ikan ini sifatnya bergerombol, yang menyebabkan dapat ditangkap dalam jumlah besar (Gunarso 1985) dan merupakan faktor penting bagi usaha perikanan komersil.
Melihat peranan rumpon pada alat tangkap pancing ulur maka perlu dilakukan penelitian untuk menentukan “Produktivitas pancing ulur untuk penangkapan ikan tenggiri (Scomberomorus commerson)” dengan menggunakan alat bantu rumpon di perairan Tambelan  Kepulauan  Riau”.  Hasilnya  diharapkan  dapat  memberikan  informasi  kepada nelayan tentang manfaat rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan.Indonesia adalah salah satu negara maritim terkaya di dunia. Sebagian besar wilayah negara ini merupakan hamparan laut dengan segala potensi yang ada di dalamnya. Luas laut yang dimiliki Indonesia menjadi sebuah aset yang sangat berharga dan berguna bagi masa depan bangsa. Pengelolaan laut secara terpadu dan sistematis adalah suatu hal yang mutlak dilakukan. Oleh karena itu, potensi-potensi laut tidak akan termanfaatkan dengan optimal apabila masih dikelola dengan cara-cara konvensional tanpa program terencana.
Konon, dari total luas laut yang dimiliki, Indonesia baru bisa memanfaatkan sebagian kecilnya saja. Laut bagaikan sebuah kotak harta karun yang terkunci rapat, ilmu pengetahuan adalah kunci untuk membuka harta karun itu. Bagi masyarakat Indonesia, pengetahuan tentang komoditas-komoditas perikanan laut penting untuk dimiliki. Pengetahuan itu akan menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) yang tinggi dan motivasi kuat untuk memanfaatkan. Salah satu komoditas perikanan laut yang perlu diketahui dan dimanfaatkan potensinya adalah ikan tenggiri.
Ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) adalah ikan laut yang termasuk dalam famili scombridae. Ikan tenggiri dikenal pula dengan nama spanish mackerel, namun nama tersebut berbeda-beda di setiap daerah. Orang India menyebutnya ikan anjai, di Filipina lebih dikenal dengan nama ikan dilis, dan di Thailand akrab dengan istilah ikan thu insi. Ukuran ikan tenggiri dapat mencapai panjang 240 cm dengan berat 70 kg. Usia dewasa tercapai setelah 2 tahun atau ketika memiliki panjang tubuh 81-82 cm. Ikan tenggiri betina ukurannya lebih besar dan usianya lebih panjang dibanding jantan. Ikan tenggiri betina dapat hidup selama 11 tahun.
Iklim yang paling cocok untuk ikan tenggiri adalah iklim tropis. Perairan laut yang dimiliki Indonesia merupakan surga bagi ikan tenggiri. Selain di Indonesia, ikan tenggiri dapat ditemukan pula di bagian utara Cina dan Jepang, bagian tenggara Australia, bahkan Laut Merah. Kedalaman laut yang cocok bagi tenggiri adalah sekitar 10-70 m dari permukaan laut. Di beberapa negara, ikan tenggiri menjadi komoditas perikanan laut yang paling utama karena memiliki nilai komersial tinggi.
Ikan tenggiri mempunyai morfologi tubuh yang cukup unik. Di bagian samping tubuhnya terdapat garis lateral yang memanjang dari insang hingga akhir sirip dorsal kedua, sedangkan pada punggungnya terdapat warna biru kehijauan. Garis pada bagian samping menjadi ciri khas ikan tenggiri yang berbeda dengan ikan sejenis. Secara umum, warna ikan tenggiri adalah perak keabu-abuan.
Ikan tenggiri tergolong ke dalam ikan laut yang menyukai daerah laut dangkal. Bagian-bagian yang terdapat batu karang (reef) merupakan habitat yang cocok bagi ikan tenggiri. Perairan yang memiliki salinitas (salinity) rendah dan kekeruhan (turbidity) tinggi disukai pula olehnya. Ikan tenggiri dapat menetap pada suatu habitat dan terkadang bermigrasi ke tempat yang cukup jauh. Pola migrasi ikan tenggiri sangat khas karena bergantung kepada temperatur air laut dan musim bertelur (spawning season). Jatuhnya musim bertelur ini bervariasi di setiap habitat yang ditinggali.
Ikan tenggiri memiliki sifat rakus (voracious) ketika makan dan mencari makan seorang diri (solitary). Jenis makanannya adalah ikan-ikan kecil karena ikan tenggiri tergolong ke dalam hewan karnivora. Ikan kecil jenis anchovy (semacam ikan haring) merupakan salah satu makanan utama bagi ikan tenggiri, khususnya ikan tenggiri muda. Selain itu, ikan tenggiri juga memakan beberapa jenis cumi-cumi (squid) dan udang.
Potensi
Ikan tenggiri dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan komersial dan rekreasional. Dalam situs web Food and Agriculture Organization (FAO), jumlah penangkapan ikan tenggiri terbesar di dunia pernah tercatat di Indonesia, diikuti Filipina, Sri Langka, Yaman, dan Pakistan.
Ikan tenggiri biasanya dipasarkan dalam keadaan segar atau beku. Sejumlah negara maju lebih menyukai ikan tenggiri yang dipasarkan dalam bentuk potongan tipis (fillet) atau tanpa tulang (boneless). Beberapa negara telah mengolah ikan tenggiri untuk dikemas dalam kaleng (canned) seperti ikan sarden. Ikan tenggiri mengandung gizi yang cukup tinggi. Kebutuhan protein hewani dapat dipenuhi dengan mengonsumsi ikan ini. Filipina dan Jepang merupakan negara yang penduduknya paling banyak mengonsumsi ikan. Indonesia dengan segenap potensi sumber daya maritim yang dimiliki seharusnya mengikuti langkah serupa.
Untuk keperluan kuliner, ikan tenggiri dapat dimasak dengan berbagai cara tergantung selera. Ikan tenggiri pun dapat diolah menjadi bentuk makanan lain, tidak selalu dimakan dalam bentuk ikan utuh. Cara pemasakan seperti memanggang (broiling), menggoreng (frying), membakar (baking), dan pengasapan merupakan metode umum yang digunakan untuk mengolah ikan tenggiri.
Penangkapan ikan tenggiri di Indonesia sebagian besar dilakukan secara sederhana dan tradisional (artisanal). Artinya, ikan tenggiri menjadi komoditas andalan para nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Populasi ikan tenggiri yang tinggi di Indonesia berpeluang memperbaiki kesejahteraan para nelayan. Menurut Erdmann dan Pet-Soede (1996), perdagangan ikan laut dipicu oleh permintaan (demand) yang tinggi dari Hongkong, Singapura, Taiwan, dan Cina. Negara-negara tersebut memberikan harga mahal untuk ikan yang memiliki kesegaran (freshness), rasa (flavour), dan gizi (health-promoting) yang baik.
Di balik semua potensi yang dimilikinya itu, ikan tenggiri tetap memiliki sejumlah kendala dalam meningkatkan populasinya. Metode penangkapan ikan laut yang dilakukan oleh nelayan banyak yang dapat membahayakan populasi tenggiri. Penangkapan besar-besaran (overexploitation) dengan cara yang berbahaya akan menimbulkan kerugian dalam jangka panjang.
Penangkapan ikan yang paling berbahaya adalah penangkapan dengan menggunakan sodium sianida, yaitu cairan untuk menangkap ikan yang dapat membunuh organisme sekitar karang. Oleh karena itu, populasi ikan tenggiri harus dijaga dan diawasi dari cara penangkapan yang merugikan lingkungan.
Bagian-bagian pancing ulur yang digunakan oleh nelayan, berikut:
a. Penggulung Tali Pancing
Penggulung tali  pancing ulur  yang digunakan berbentuk bundar  yang terbuat dari plastik dan kayu. Hal ini sejalan dengan Subani dan Barus (1989) yang menyatakan bahwa penggulung tali pancing pada umumnya terbuat dari kayu atau plastik dan ukuran penggulung tersebut disesuaikan dengan panjangnya tali pancing. Penggunaan penggulungan tali pancing bertujuan untuk memudahkan proses pengoperasian alat tangkap yaitu agar tali tidak kusut dan dapat digulung setelah operasi penangkapan selesai kemudian disimpan untuk digunakan kembali pada saat pengoperasian berikutnya.
b. Tali Penarik
Tali penarik yang digunakan bernomor 60 dengan panjang 100-150 meter. Bahan terbuat dari Monofilamen, yang biasa disebut tasi oleh nelayan pulau Tambelan.
c. Kili-kili
Kili-kili merupakan bagian dari pancing ulur yang berguna untuk menyambungkan dan untuk mencegah agar tali penarik dan tali alas tidak terpintal atau kusut saat proses pengoperasian alat tangkap (Anggawangsa, 2008). Kili-kili yang digunakan terbuat dari baja yang tahan terhadap karat, sehingga penggunaannya dapat bertahan lama.
d. Tali Alas
Tali alas yang digunakan mempunyai ukuran yang lebih kecil dari pada ukuran tali penarik, yaitu bernomor 40. Penggunaan tali yang berukuran lebih kecil ini bertujuan agar tali tersebut tidak kentara saat berada di dalam air, panjang tali alas yaitu 8-10 meter.
e. Mata Pancing
Mata pancing yang digunakan untuk menangkap ikan tenggiri terdiri dari 2 mata pancing yaitu pancing no 5 dan no 6. Pancing utama bernomor 5 dan pancing tondanya bernomor 6. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap. Ikan  tenggiri merupakan ikan yang mempunyai gigi yang sangat tajam maka untuk mencegah agar tali pancing tidak putus ketika umpan dimakan ikan maka mata pancing di ikat dengan baja bernomor 18 dan panjang baja tersebut berkisar 8-10 cm.
f.  Pemberat
Pemberat yang digunakan pada pancing ulur berfungsi mempercepat turunnya mata pancing ke dasar perairan dan menjaga pancing tetap tegak saat berada dalam air. Pemberat yang digunakan berupa batu sungai yang dibungkus dengan  plastik  dengan berat berkisar antara 100-300 gram, , jarak  antara  pancing  dengan  pemberat  berkisar 8-10 m dengan tali monofilamen nomor 20. Pemberat ini diikatkan pada tali yang terletak di bagian paling ujung suatu pancing ulur Anggawangsa (2008).
Deskripsi Alat Bantu Rumpon
Alat  bantu  penangkapan  yang  digunakan  adalah  rumpon  yang  dipasang  pada kedalaman 25-35 m. Rumpon terdiri dari pelampung tanda, pelampung utama, tali utama, atraktor, dan pemberat.
a. Pelampung Tanda dan Pelampung Utama
Pelampung tanda berjumlah 1-3 buah untuk setiap rumpon dan panjang berkisar antara
5-10 m dan terbuat dari plastik dan styrofoam. Pelampung mempunyai kemampuan mengapung yang baik, konstruksi yang kuat, tahan terhadap gelombang dan air, serta mudah dikenali dari jarak jauh (Tim pengkajian rumpon IPB, 1987).
Pelampung utama merupakan komponen yang penting untuk sebuah rumpon, karena berfungsi untuk membuat rumpon tetap berbentuk vertikal di dalam air. Pelampung utama terbuat dari bahan plastik yang kuat mengapung dengan posisi berada sekitar 1 m dibawah permukaan air laut.
b. Tali Utama
Tali utama merupakan tempat untuk mengikat atraktor. Pada bagian atas diberikan pelampung agar dapat mempertahankan bentuk vertikal dari suatu rumpon, sedangkan pada bagian bawah diberikan pemberat agar rumpon dapat terbentuk dan tidak hanyut terbawa arus. Tali yang digunakan harus kuat, tidak mudah rusak, mempunyai daya apung yang cukup kuat untuk mencegah gesekan terhadap benda-benda lain dan terhadap arus (Tim pengkajian rumpon IPB, 1987).
c. Atraktor
Atraktor berfungsi sebagai penarik atau pengumpul ikan, sebagai tempat berlindung ikan-ikan kecil dan sebagai tempat mencari makan bagi ikan-ikan predator. Atraktor yang digunakan adalah daun kelapa, diikatkan pada tali utama mulai dari dekat bagian pelampung utama dan diikat berurutan ke dasar perairan atau sampai di bagian pemberat pada kedalaman perairan 25 - 35 m pada surut terendah.
d. Pemberat
Pemberat terbuat dari pasir yang dimasukkan ke dalam karung dengan berat 80 kg. Jumlah pemberat untuk setiap rumpon yaitu 6 karung pasir. Menurut tim pengkajian rumpon Institut Pertanian Bogor (1987), pemberat harus memiliki massa jenis yang besar, permukaannya tidak licin, dapat mencengkram, harganya murah dan mudah didapatkan.

Minggu, 09 November 2014

MENGENAL MANFAAT CHLORELLA DAN PERKEMBANGANYA

Klasifikasi dan Morfologi
Nama Chlorella berasal dari zat bewarna hijau (chlorophyll) yang juga berfungsi sebagai katalisator dalam proses fotosintesis (Steenblock 2000). Chlorella sp. (Gambar 1) oleh Bold dan Wynne (1985) dikategorikan ke dalam kelompok alga hijau yang memiliki jumlah genera sekitar 450 dan jumlah spesies lebih dari 7500.
Nama alga hijau diberikan karena kandungan zat hijau (chlorophyll)  yang dimilikinya sangat tinggi, bahkan melebihi jumlah yang dimiliki oleh beberapa tumbuhan tingkat tinggi. Klasifikasi Chlorella sp. menurut Bold dan Wynne (1985) adalah sebagai berikut:
Divisi    : Chlorophyta
Kelas    : Chlorophyceae
Ordo    : Chlorococcales
Famili    : Oocystaceae
Genus    : Chlorella
Spesies : Chlorella sp.
Bentuk umum sel-sel Chlorella adalah bulat atau elips (bulat telur), termasuk fitoplankton bersel tunggal (unicellular) yang soliter, namun juga dapat dijumpai hidup dalam koloni atau bergerombol. Diamater sel umumnya berkisar antara 2-12  mikron, warna hijau karena pigmen yang mendominasi adalah klorofil (Bold 1980). Chlorella sp. merupakan organisme eukariotik (memiliki inti sel) dengan dinding sel yang tersusun dari komponen selulosa dan pektin sedangkan protoplasmanya berbentuk cawan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
2.1.2   Habitat dan Ekologi
Berdasarkan habitat hidupnya Chlorella dapat dibedakan menjadi Chlorella air tawar dan Chlorella air laut. Chlorella air tawar dapat hidup dengan kadar salinitas hingga 5 ppt. Contoh Chlorella yang hidup di air laut adalah Chlorella vulgaris, Chlorella pyrenoidosa, Chlorella virginica dan lain-lain (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Umumnya Chlorella bersifat planktonis yang melayang di dalam perairan, namun beberapa jenis Chlorella juga ditemukan mampu bersimbiosis dengan hewan lain misalnya Hydra dan beberapa Ciliata air tawar seperti Paramecium bursaria ( Dolan  1992).
2.1.3  Reproduksi
Reproduksi Chlorella adalah aseksual dengan pembentukan autospora yang merupakan bentuk miniatur dari sel induk. Tiap satu sel induk (parrent cell) akan membelah menjadi 4, 8, atau 16 autospora yang kelak akan menjadi sel-sel anak (daughter cell) dan melepaskan diri dari induknya (Bold dan Wynne 1985).
Proses reproduksi Chlorella dapat dibagi menjadi 4 tahap (Kumar dan Singh 1979 ) yaitu:
Tahap pertumbuhan, pada tahap ini sel Chlorella tumbuh membesar. Tahap pemasakan awal saat terjadi peningkatan aktivitas sintesa yang merupakan persiapan awal pembentukan autospora. Tahap pemasakan akhir, pada tahap ini autospora terbentuk.
Tahap pelepasan autospora, dinding sel induk akan pecah dan diikuti oleh pelepasan autospora yang akan tumbuh menjadi sel induk muda.
2.2 Kultur Chlorella sp.
2.2.1  Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangbiakan Chlorella sp.
Menurut Bold dan Wynne (1985), perkembangbiakan Chlorella sp. dalam kultur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: media, nutrien atau unsur hara, cahaya, suhu, serta salinitas. Media merupakan tempat hidup bagi kultur Chlorella yang pemilihannya ditentukan pada jenis Chlorella yang akan dibudidayakan. Bahan dasar untuk preservasi media yang dapat digunakan adalah agar-agar.
Nutrien terdiri atas unsur-unsur hara makro (macronutrients) dan unsur hara mikro (micronutrients) . Contoh unsur hara makro untuk perkembangbiakan Chlorella adalah senyawa anorganik seperti N, K, Mg, S dan P. Unsur hara mikro adalah Fe, Cu, Zn, Mn, B, dan Mo (Basmi 1995). Unsur hara tersebut diperoleh dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain (Bold 1980). Tiap unsur hara memiliki fungsi-fungsi khusus (Tabel 1) yang tercermin pada perkembangbiakan dan kepadatan yang dicapai oleh organisme Chlorella yang dikultur tanpa mengesampingkan pengaruh dari lingkungan.
Kebutuhan nutrien untuk tujuan kultur fitoplankton harus tetap terpenuhi melalui penambahan media pemupukan guna menunjang perkembangbiakan fitoplankton. Unsur N, P, dan S penting untuk sintesa protein. Unsur K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Unsur Cl dimanfaatkan untuk aktivitas kloroplas, unsur Fe dan unsur Na berperan dalam pembentukan klorofil (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995; Oh hama dan Miyachi 1988).
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton di kultur terbuka antara lain: cahaya, suhu, tekanan osmosis, pH air, kandungan O2 dan aerasi (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Cahaya merupakan sumber energi untuk melakukan fotosintesis. Cahaya matahari yang diperlukan oleh fitoplankton dapat digantikan dengan lampu TL atau tungsten. Oh hama dan Miyachi (1988) menyatakan bahwa intensitas cahaya saturasi untuk Chlorella berada pada intensitas 4000 lux. Hal ini menunjukkan bahwa setelah titik intensitas tersebut dicapai, maka fotosintesis tidak lagi meningkat sehubungan dengan peningkatan porsi intensitas cahaya (Basmi 1995).
Tabel 1. Fungsi Fisiologis Umum Unsur Makro dan Mikro
Karbon    Unsur pokok bahan sel organik.
Nitrogen    Unsur pokok protein, asam nukleat dan koenzim.
Belerang    Unsur pokok protein (seperti: asam amino sistein dan metionin), Unsur pokok beberapa koenzim (koenzim-A, karboksilase).
Fosfor    Unsur pokok asam nukleat, fosfolipid, koenzim.
Kalium    Berfungsi dalam proses fotosintesis, pengangkutan hasil asimilasi, enzim dan mineral termasuk air.
Magnesium    Kation penting untuk sel, kofaktor anorganik untuk berbagai reaksi enzimatik termasuk melibatkan ATP, berfungsi dalam pengikatan enzim pada substrat dan unsur pokok klorofil.
Mangan    Kofaktor anorganik untuk beberapa enzim, kadang-kadang menggantikan Mg.
Kalsium    Kation penting untuk sel, kofaktor untuk beberapa enzim ( misalnya proteinase ).
Besi    Unsur pokok sitokrom dari protein heme dan non heme yang lain, kofaktor untuk sejumlah enzim.
Kobalt    Unsur pokok vitamin B12 dan turunan koenzim.
Tembaga    Metabolisme protein dan karbohidrat serta berperan terhadap fiksasi N
Molibdenum    Unsur pokok anorganik enzim-enzim yang khusus.
Seng    Unsur pokok anorganik enzim-enzim yang khusus.
Sumber : Stainer et al. (1982)
Kisaran suhu optimal bagi perkembangbiakan Chlorella adalah antara 25-300C (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Taw (1990) untuk kultur Chlorella diperlukan suhu antara 25-350C. Penelitian lain menunjukkan bahwa untuk jenis Chlorella vulgaris dapat beradaptasi pada media kultur dengan suhu serendah 50C (Maxwell et al. 1994). Suhu mempengaruhi proses-proses fisika, kimia, biologi yang berlangsung dalam sel fitoplankton. Peningkatan suhu hingga batas tertentu akan merangsang aktifitas molekul, meningkatnya laju difusi dan juga laju fotosintesis (Sachlan 1982). Suhu di bawah 160C dapat menyebabkan kecepatan perkembangbiakan Chlorella sp. turun, sedangkan suhu diatas 360C dapat menyebabkan kematian (Taw 1990).
Nilai pH media kultur merupakan faktor pengontrol yang menentukan kemampuan biologis fitoplankton dalam memanfaatkan unsur hara. Nilai pH yang terlalu tinggi misalnya, akan mengurangi aktifitas fotosintesis fitoplankton (De La Noue dan De Pauw 1988). Nielsen (1955) menyatakan bahwa pH yang sesuai untuk perkembangbiakan Chlorella berkisar antara 4,5-9,3 dan kisaran optimum untuk Chlorella laut berkisar antara 7,8-8 ,5. Secara umum kisaran pH yang optimum untuk kultur Chlorella adalah antara 7-9.
Karbondioksida (CO2) diperlukan oleh fitoplankton untuk membantu proses fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-2% biasanya sudah cukup digunakan dalam kultur fitoplankton dengan intensitas cahaya yang rendah. Kadar CO2 yang berlebih dapat menyebabkan pH kurang dari batas optimum sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangbiakan fitoplankton (Taw 1990).
Aerasi dalam kultur fitoplankton digunakan dalam proses pengadukan media kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga fitoplankton dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media (Taw 1990).
2.2.2  Fase Perkembangbiakan Chlorella sp.
Perkembangbiakan fitoplankton dalam media kultur dapat diamati dengan melihat pertambahan besar ukuran sel fitoplankton atau dengan mengamati pertambahan jumlah sel dalam satuan tertentu. Cara kedua lebih sering digunakan untuk mengetahui perkembangbiakan fitoplankton dalam media kultur, yaitu dengan menghitung kelimpahan atau kepadatan sel fitoplankton dari waktu ke waktu. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) ada dua cara penghitungan kepadatan fitoplankton yaitu menggunakan sedgwich rafter dan menggunakan haemocytometer. Penggunaan haemocytometer untuk menghitung kepadatan sel fitoplankton lebih sering digunakan dibandingkan sedgwich rafter karena faktor kemudahannya. Selama pertumbuhannya fitoplankton dapat mengalami beberapa fase pertumbuhan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995), yaitu :
a.  Fase Lag (Fase Istirahat)
Dimulai setelah penambahan inokulum ke dalam media kultur hingga beberapa saat sesudahnya. Pada fase ini peningkatan paling signifikan terlihat pada ukuran sel karena secara fisiologis fitoplankton menjadi sangat aktif. Proses sintesis protein baru juga terjadi dalam fase ini. Metabolisme berjalan tetapi pembelahan sel belum terjadi sehingga kepadatan sel belum meningkat karena fitoplankton masih beradaptasi dengan lingkungan barunya. b.  Fase Logaritmik (Fase Eksponensial)
Fase ini dimulai dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang meningkat secara intensif. Bila kondisi kultur optimum maka laju pertumbuhan pada fase ini dapat mencapai nilai maksimal dan pola laju pertumbuhan dapat digambarkan dengan kurva logaritmik. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Chlorella sp. dapat mencapai fase ini dalam waktu 5-7  hari. c.  Fase Penurunan Laju Pertumbuhan
Pembelahan sel tetap terjadi pada fase ini, namun tidak seintensif fase sebelumnya, sehingga laju pertumbuhan juga mengalami penurunan dibandingkan fase sebelumnya.
d.  Fase Stasioner
Pada fase ini laju reproduksi dan laju kematian relatif sama. Penambahan dan pengurangan jumlah fitoplankton seimbang sehingga kepadatannya relatif tetap ( stasioner ).
e.  Fase Kematian
Fase ini ditandai dengan laju kematian yang lebih besar daripada laju reproduksi sehingga jumlah sel mengalami penurunan secara geometrik. Penurunan kepadatan sel fitoplankton ditandai dengan perubahan kondisi optimum yang dipengaruhi oleh suhu, cahaya, pH media, ketersediaan hara, dan beberapa faktor lain yang saling terkait satu sama lain.
Secara skematis pola perkembangbiakan dari fitoplankton, khususnya Chlorella sp. dapat dilihat pada Gambar 2.
2.3   Pupuk
Pemupukan biasanya yang digunakan dalam kultur Chlorella sp. yakni pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP sebagai unsur hara makro dan unsur mikro bagi perkembangbiakan Chlorella sp.
Pengertian pupuk secara umum adalah suatu bahan yang bersifat organik ataupun anorganik, bila ditambahkan kedalam tanah atau tanaman, dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, biologi tanah dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Nitrogen merupakan unsur penting bagi pertumbuhan tanaman terutama pada fase vegetatif. Saat fase ini terjadi tiga proses penting yaitu pembelahan sel, pemanjangan sel dan tahap diferensiasi sel (Hladka 1971). Shelf dan Soeder (1980) menyatakan bahwa nitrogen merupakan bagian penting dari protein, protoplasma, klorofil, dan asam nukleat. Vegetasi tingkat rendah maupun tinggi menyerap N dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-).
Organisme berklorofil yang kekurangan nitrogen akan berubah warna selnya menjadi kekuningan karena adanya penghambatan síntesis klorofil. Pemupukan nitrogen yang berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang berlebihan. Kekurangan N juga akan membatasi pertumbuhan karena tidak ada pembentukan protoplasma baru. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan N tanaman (mengatur nisbah C/N) dengan memberikan pupuk N ke tanah.
Chlorella sp. tidak dapat membedakan dan tidak bisa memilih unsur hara yang diserap berasal dari pupuk organik atau pupuk kimia. Chlorella sp. menyerap unsur hara (N, P, K, dan sebagainya) melalui mekanisme pertukaran ion, dan dalam bentuk ion-ion anorganik. Agar dapat diserap oleh Chlorella sp., pupuk organik harus melalui serangkaian proses perombakan oleh mikroba dalam tanah menjadi ion-ion anorganik/kimia. Jadi yang diserap Chlorella sp. pada akhirnya tetap saja berupa ion-ion anorganik / kimia (Hardjowigeno 2007).
2.3.1   Pupuk Urea
Pupuk urea (Gambar 3) yang dikenal dengan nama rumus kimianya NH2CONH2 pertama kali dibuat secara sintetis oleh Wohler (1928) dengan mereaksikan garam cianat dengan ammonium hidroksida.
Pupuk urea yang dibuat merupakan reaksi antara karbon dioksida (CO2) dan ammonia (NH3). Kedua senyawa ini berasal dari bahan gas bumi, air dan udara. Ketiga bahan baku tersebut merupakan kekayaan alam yang terdapat di Sumatera Selatan (Hardjowigeno 2007).
Untuk mendapatkan konsentrasi urea yang lebih tinggi maka dilakukan pemekatan dengan cara:
Penguapan larutan urea di bawah vacuum (ruang hampa udara, tekanan 0,1 atmosfir mutlak), sehingga larutan menjadi jenuh dan mengkristal.
Memisahkan kristal dari cairan induknya dengan centrifuge.
Penyaringan kristal dengan udara panas.
(Sumber : http://www.canadianagri.ca, 10 Februari 2013)
2.3.2  Pupuk ZA (Zwavelzuur Amonia)
Pupuk ZA (Gambar 4) mendapatkan nama panjangnya, Zwavelzuur Amonia dari bahasa Belanda. Nama kimia ZA adalah amonium sulfat dengan rumus kimia (NH4)2SO4. Senyawa garam anorganik ini memiliki memiliki kandungan nitrogen sekitar 20% dan sulfur sekitar 24% sehingga tujuan produksinya adalah sebagai pupuk pertanian (George dan Sussot 1971).
Gambar 4. Pupuk ZA
(Sumber : http://www.trivenichemical.com, 10 Februari 2013)
Bentuk pupuk ZA yang dapat dijumpai di pasaran adalah seperti bubuk kasar atau bongkahan-bongkahan kecil bewarna putih seperti gula pasir dan mudah larut dalam air. Penggunaan pupuk ZA dalam bidang pertanian yang berlebihan dapat menyebabkan turunnya pH tanah.
2.3.3  Pupuk TSP (Triple Super Phospate)
Fosfor (P)  merupakan salah satu unsur makro primer yang dibutuhkan oleh tanaman (Tisdale dan Nelson 1975). Kekurangan unsur P dapat diamati dari adanya gejala tertundanya pematangan sel. Bold and Wynne (1985) menyatakan gejala kekurangan P juga biasanya tampak pada fase awal pertumbuhan. Pada tumbuhan tingkat tinggi, tanaman yang kekurangan P gejalanya dapat terlihat pada daun tua dimana warna daun menjadi keunguan, perakaran menjadi dangkal dan sempit penyebarannya, batang menjadi lemah.
Menurut Bold dan Wynne (1985)  fosfor merupakan salah satu unsur yang berperan dalam proses penyusunan karbohidrat dan senyawa kaya nitrogen. Gula terfosforilasi yang kaya energi muncul dalam proses fotosintesis. Fosforilasi adenosin menghasilkan adenosine monofosfat, difosfat, trifosfat (AMP, ADP dan ATP) dimana tanaman menyimpan energinya untuk kelangsungan proses kimia lainnya. Menurut Buckman dan Brady (1982), fosfor berpengaruh baik pada proses pembelahan sel dan pembentukan lemak pada organisme. Salah satu pupuk fosfor yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pupuk TSP (Gambar 5).
Gambar 5. Pupuk TSP
( Sumber : http ://www.jhbunn.co.uk, 1 Juni  2009)
Bentuk umum yang dapat dijumpai berupa butiran kecil kasar dengan warna kecoklatan, abu-abu, atau kekuningan dan bahan penyusunnya seperti tanah yang mengering (Havlin et al. 2005).
2.3.4  Komposisi Pupuk Untuk Perkembangbiakan Chlorella sp.
Adapun pupuk yang digunakan untuk skala massal berbeda dengan pupuk yang digunakan dalam skala laboratorium. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan faktor ekonomis. Adapun pupuk yang digunakan dalam skala massal dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Berbagai Kombinasi Pupuk Untuk Media Chlorella sp.
Konsentrasi (mg/l media) Pupuk
    A    B    C
Urea    80    40    12-15
ZA    40    80    -
TSP    15    15    -
FeCl3    2    1,5    -
EDTA    5    1,0    -
N:P:K (14:14:14)    -    -    30
Sumber : Jusadi (2003)
2.4  Bayam (Amaranthus sp.)
Bayam (Gambar 6) ini berasal dari Amerika tropik, namun sekarang tersebar ke seluruh dunia. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis bayam budidaya, yaitu Amaranthus tricolor dan Amaranthus hybridus. Jenis Amaranthus tricolor biasa ditanam sebagai bayam cabut dan terdiri dari dua varietas, yaitu bayam hijau (bayam putih, bayam sekul atau bayam Cina). Dan bayam merah karena tanamannya berwarna merah. Amaranthus hybridus sering disebut bayam kakap, bayam tahun, atau bayam bathok dan di tanam sebagai bayam petik. Di luar dari jenis bayam tersebut merupakan bayam liar.
Gambar 6. Bentuk Tanaman Bayam
Kandungan gizi yang baik bagi tubuh yang terkandung dalam bayam antara lain vitamin A, vitamin B, asam folat, besi dan magnesium. Salah satu zat gizi yang baik pada bayam yaitu glutathione, yang berfungsi sebagai pembentuk enzim-enzim dan membantu sistem kekebalan tubuh. Kandungan besi pada bayam relatif lebih tinggi daripada sayuran lain (unsur besi merupakan penyusun sitokrom dan protein yang terlibat dalam fotosintesis).
Daunnya berbentuk bulat telur dengan ujung agak meruncing mempunyai urat- urat daun yang jelas. Warna daun variasi, mulai dari hijau muda, hijau tua, hijau keputih- putihan, sampai berwarna merah. Daun bayam liar umumnya kasap ( kasar) dan kadang berduri.
Batang tumbuh tegak, tebal, berdaging dan banyak mengandung air, tumbuh tinggi di atas permukaan tanah. Bayam tahunan mempunyai batang keras berkayu dan bercabang banyak.
Bunga bayam berukuran kecil, berjumlah banyak, terdiri dari daun bunga 1-5, dan bakal buah 2-3 buah. Bunga keluar dari ujung-ujung tanaman ketiak daun yang tersusun seperti malai yang tumbuh tegak.
Perkembangbiakan tanaman bayam umumya generatif, biji berukuran sangat kecil dan halus, berbentuk bulat, dan berwarna coklat tua mengkilap seperti hitam kelam. Setiap tanaman dapat menghasilkan biji kira-kira 1200-3000 biji/gram.
2.4.1   Kandungan Senyawa Kimia Bayam
Bayam juga mengandung zat nitrit (NO2) . Kalau teroksidasi oleh udara, maka akan menjadi NO3 ( nitrat). Kandungan nutrisinya yang tinggi, bayam sering disebut sebagai ‘King of Vegetables’. Kandungan asam folat dan asam oksalat membuat bayam bisa dipakai untuk mengatasi berbagai macam masalah kesehatan. Misalnya menurunkan kadar kolesterol, mencegah sakit gusi, mengobati eksim, asma, untuk perawatan kulit muka, kulit kepala, rambut, mengobati rasa lesu, kurang darah, mencegah hilangnya penglihatan saat tua dan kanker.
Menurut Wishnok (1998), bayam segar yang baru dicabut dari persemaiannya telah mengandung senyawa nitrit kira-kira sebanyak 5 mg/kg. Bila bayam disimpan di lemari es selama 2 minggu, kadar nitrit akan meningkat sampai 300 mg/kg.  Berdasarkan data dari USDA Nutrient database, dalam 100 g bayam, mengandung komposisi senyawa organik, dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Senyawa Organik Dalam 100 g Bayam
Air    11000  mg
Protein    14000  mg
Lemak    7000  mg
Karbohidrat    65000  mg
Kalsium    90  mg
Abu    1400  mg
Fosfor    557  mg
Besi    7600  mg
Natrium    131  mg
Kalium    385  mg
Vitamin B1 (Thiamin)    0 ,08 mg
Vitamin B2 (Riboflavin)    0 ,15 mg
Vitamin B3 (Niacin)    0 ,9 mg
Vitamin B7 (Biotin)    1 ,5 mg
Vitamin B12 (Kobalamin)
Vitamin C    0 ,6 mg
0 ,8 mg
Vitamin E
Tembaga    1 ,89 mg
0 ,13 mg
Zinc    2 ,9 mg
Magnesium    248  mg
Mangan    3 ,4 mg
Nitrat    426  mg
Nitrit    72  mg
Sumber : USDA Nutrient database (2003)
2.4.2   Senyawa Fitokimia Pada Bayam
Golongan senyawa kimia dalam fitokimia mempunyai beberapa manfaat dan karakterisasi tersendiri. Dari berbagai tanaman, biasanya terdapat lebih dari satu golongan senyawa kimia, sehingga dari berbagai tanaman mempunyai manfaat masing-masing sebagai pengobatan baik secara tradisional maupun berdasarkan penelitian. Berikut adalah beberapa golongan kimia secara luas: a.  Alkaloid
Alkaloid adalah golongan senyawa yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan berbentuk siklik. Alkaloid sebagian besar berbentuk kristal padat dan sebagian kecil berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar, memutar bidang polarisasi dan terasa pahit dan biasanya tanpa warna (Harborne 1987). Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion. b. Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Flavonoid biasanya terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh. Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan (Hahlbrock 1981). c.  Saponin
Saponin merupakan glikosida triterpen yang sifatnya menyerupai sabun, merupakan senyawa aktif permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air dan pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan hemolisis pada sel darah merah. Saponin berperan sebagai bagian dari sistem pertahanan tanaman dan termasuk ke dalam kelompok besar molekul pelindung tanaman yang disebut phytoanticipans atau phytoprotectans. Saponin diketahui mempunyai efek sebagai anti mikroba, menghambat jamur dan melindungi tanaman dari serangan serangga.

Minggu, 05 Oktober 2014

KERUSAKAN TERUMBU KARANG AKIBAT PENANGKAPAN YANG ILEGAL (ILEGAL FISHING)

Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan juga memiliki lebih dari 17.504 pulau. Keadaan tersebut menjadikan Indonesia termasuk kedalam Negara yang memiliki kekayaan sumberdaya perairan yang tinggi dengan sumberdaya hayati perairan yang sangat beranekaragam. Keanekaragaman sumberdaya perairan Indonesia meliputi sumberdaya ikan maupun sumberdaya terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki Indonesia luasnya sekitar 7000 km2 dan memiliki lebih dari 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan. Luasnya daerah karang yang ada menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki kenekaragaman ikan yang tinggi khususnya ikan-ikan karang yaitu lebih dari1.650 jenis spesie ikan (Burke et al, 2002 dalam Zainarlan, 2007).
Kekayaan sumberdayahayati perairan Indonesia yang tinggi akan sangat bermanfaat jika dilakukan pemanfaatan secara optimal dan bertanggung jawab. Pemanfaatan sumberdayahati perairan ini dapat dilakukan melalui proses penangkapan yang bertanggung jawab. Penangkapan ikan yang dilakukan adalah proses pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bersifat ekonomis dari perairan secara bertanggung jawab. Dalam melakukan proses penangkapan, nelayan harus mengikuti peraturan yang berlaku. Salah satu peraturan yang mengatur mengenai kegiatan penangkapan adalah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yaitu prinsip-prinsip tatalaksana perikanan yang bertanggungjawab. Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek penangkapan yang bertanggung jawab dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian.
Proses pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia khususnya untuk ikan-ikan karang saat ini banyak yang tidak sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya kebutuhan dan permintaan pasar untuk ikan-ikan karang serta persaingan yang semakin meningkat. Keadaan tersebut menyebabkan nelayan melakukan kegiatan eksploitasi terhadap ikan-ikan karang secara besar-besaran dengan menggunakan berbagai cara yang tidak sesuai dengan kode etik perikanan yang bertanggung jawab. cara yang umumnya digunakan oleh nelayan adalah melakukan illegal fishing yang meliputi pemboman, pembiusan, dan penggunaan alat tangkap trawl. Semua cara yang dilakukan oleh nelayan ini semata-mata hanya menguntungkan untuk nelayan dan
Terumbu Karang dan Fungsinya
Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22oC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Scnedaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur, dan organisme lain yang mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).
Arah perkembangan terumbu organik dikontrol oleh keseimbangan ketiga faktor yaitu hidrologis, batimetris, dan biologis. Jika ketiga faktor
seimbang, terumbu berkembang secara radial dan akan terbentuk terumbu paparan dan apabila pertumbuhan ini berlanjut akan terbentuk terumbu pelataran bergoba. Namun jika perkembangan radial dibatasi oleh kondisi batimetri akan terbentuk terumbu paparan lonjong. Terumbu yang terakhir ini tidak membentuk lagun yang benar dan depresi menyudut merupakan penyebaran pasir. Sedangkan terumbu paparan dinding terbentuk pada kondisi batimetris dan hidrologis tidak simetris, di mana perkembangan terumbu terbatas pada satu atau dua arah. Kondisi ini akan menghasilkan perkembangan terumbu secara linier, dan membentuk terumbu dinding berupa terumbu dinding tanduk dan terumbu dinding garpu. Terbentuknya terumbu dinding garpu ini menunjukkan adanya arus pasang surut yang kuat. (Zuidam, 1985).
Terumbu karang dapat berkembang dan membentuk suatu pulau kecil. Dari lima jenis pulau yaitu Pulau Benua (Continental Islands), Pulau Vulkanik (Volcanic Islands), Pulau Daratan Rendah (Low Islands) , Pulau Karang Timbul (Raised Coral Islands), dan Pulau Atol (Atolls), dua yang terakhir terbentuk dari terumbu karang. Di sisi lain, dari sepuluh jenis bentuklahan (Zuidam, 1985, dan F-G UGM & Bakosurtanal, 2000), terumbu karang adalah salah satunya. Bentuklahan (landforms) ini adalah bentuklahan organik yaitu berupa binatang. Bentuk lain yang berhubungan dengan terumbu karang adalah bentuklahan karst, yaitu terbentuk melalui proses karstifikasi pada batuan kalsium karbonat. Namun bentuklahan karst ini terbentuk secara alami melalui proses eksogenik dan endogenik dan berlangsung pada skala besar (Thornbury, 1954). Sedangkan terumbu karang terbentuk secara organik dan relatif perlahan sehingga lebih dimungkinkan adanya campur tangan manusia dalam pertumbuhannya. Hasil identifikasi bentuklahan mencerminkan karakteristik fisik lahan dan untuk mendapatkannya dengan melalui analisis geomorfologis. Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan dan proses-proses yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangan (Zuidam, 1985).
Trumbu karang mempunyai fungsi yang amat penting bagi kehidupan laut. Fungsi-fungsi
tersebut diantaranya:
“ Sebagai Spawning Ground dan Nursery Ground. Secara alami, terumbu karang merupakan habitat bagi banyak spesies laut untuk melakukan pemijahan, peneluran, pembesaran anak, makan dan mencari makan (feeding & foraging), terutama bagi sejumlah spesies yang memiliki nilai ekonomis penting. Sebagai pelindung sempadan pantai, dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan hutan mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang besar”.
2.2 Kegiatan dan Dampak dari Illegal Fishing
Illegal fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab Illegal fishing termasuk kegiatan mall praktek dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang merupakan kegiatan pelanggaran hukum. Kegiatan illegal fishing umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik baik ekosistem perairan akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Dalam kegiatan panangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang bersifat merusak yang dilakukan oleh nelayan khususnya nelayan traditional. Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan-ikan karang yang banyak digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut dampak berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang karang.
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak merupakan cara yang sering digunakan oleh nelayan traditional didalam memanfaatkan sumberdaya perikanan khususnya didalam melakukan penangkapan ikan-ikan karang. Penangkapan ikan-ikan karang dengan menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat yang kurang baik baik bagi ikan-ikan yang akan ditangkap maupun untuk karang yang terdapat pada lokasi penangkapan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Penggunaan bahan peledak di daerah terumbu karang akan menghancurkan struktur terumbu karang dan dapat meninggalkan gunungan serpihan karang hingga beberapa meter lebarnya (Hamid, 2007). Selain memberi dampak yang buruk untuk karang, kegiatan penangkapan dengan menggunkan bahan peledak juga berakibat buruk untuk ikan-ikan yang ada. Ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan bahan meledak umumnya tidak memiliki kesegaran yang sama dengan ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.
Walaupun demikian adanya, nelayan masih tetap menggunakan bahan peledak didalam melakukan kegiatan penangkapan karena hasil yang mereka peroleh cendrung lebih besar dan cara yang dilakukan untuk melakukan proses penangkapan tergolong mudah.
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan beracun
Selain penggunaan bahan peledak didalam penangkapan ikan diderah karang, kegiatan yang marak dilakukan oleh nelayan adalah dengan menggunakan obat bius atau bahan beracun lainnya. Bahan beracun yang umum dipergunakan dalam penangkapan ikan dengan pembiusan seperti sodium atau potassium sianida. Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap ikan hias dan hidup memicu nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan yang merusak dengan menggunakan racun sianida. Kegiatan ini umum dilakukan oleh nelayan untuk memperoleh ikan hidup.
Hasil yang diperoleh dengan cara ini memang merupakan ikan yang masih hidup kan tetapi penggunaannya pada daerah karang memberikan dampak yang sangat besar bagi terumbu karang. Selain itu penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang tertentu. Racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi mabuk dan mati. Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama kelamaan karang menjadi mati. Indikatornya adalah karang mati
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl
Kegiatan lain yang termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang. Kegiatan ini merupakan
kegiatan penangkapan yang bersifat merusak dan tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang dapat dilihat pada kasus yang terjadi di perairan Bagan Siapi-Api Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, penggunaan alat tangkap ini sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena alat tangkap tersebut termasuk kedalam alat tangkap yang sangat tidak ramah lingkungan karena memiliki selektifitas alat tangkap yang sangat buruk. Nelayan di sulawesi Utara cendrung tidak memperdulikan hukum yang ada. Mereka tetap melakukan proses penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl. Alat yang
umumnya digunakan oleh nelayan berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut.
Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. Akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerus
menyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan ikan-ikan kecil yang belum memijah tertangkap oleh alat ini sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memijah dan memperbanyak spesiesnya. Selain hal tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan alat tangkap ini pada daerah karang adalah rusaknya terumbu karang akibat tersangkut ataupun terbawa jarring. Jarring yang tersangkut akann menjadi patah dan akhirnya menghambat pertumbuhan dari karang itu sendiri. Apabila hal ini terus berlanjut maka ekosistem karang akan mengalami kerusakan secara besar-besaran dan berakibat pada punahnya ikan-ikann yang berhabitat pada daerah karang tersebut.
Beberapa Contoh Kerusakan Terumbu Karang di Indonesia
Kerusakan karang akibat penggunaan bahan beracun khususnya dengan menggunakan sianida dapat dilihat dari kasus pulau Panambungan di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan pada tahun 2007 di ketahui bahwa di pulau Panambungan secara umum terumbu karangnya berada dalam kondisi rusak. Kerusakan ini diakibatkan oleh penggunaan bahan beracun pada saat melakukan kegiatan penangkapan. Keadaan ini diperkuat lagi karena sebagian wilayah pulau ini tidak berpenghuni sehingga tidak adanya pengawasan dan memberikan ruang gerak kepada nelayan untuk melakukan penangkapan illegal fishing secara leluasa.
    Informasi dari instansi terkait di beberapa daerah pesisir utara jawa menyebutkan. Kabupaten Batang, kawasan terumbu karang Kretek. Berdasarkan hasil survei, persentase tutupan karang keras yang masih hidup hanya sebesar 6%. Karang yang dijumpai pada transek hanya satu jenis, yaitu Porites lobata, dengan bentuk pertumbuhan massive (batu bulat besar) dan submassive Suara Merdeka, 2008).
    Kondisi terumbu karang di P. Panjang Kabupaten Jepara, termasuk dalam kondisi rusak. Hasil ini menunjukkan penurunan dari penelitian yang dilakukan oleh Haryono (2001) dan Lutfi (2003). Penelitian yang dilakukan oleh Haryono pada tahun 2001 menunjukkan kondisi terumbu karang di P. Panjang dalam keadaan baik dengan persentase penutupan karang sebesar 49,46%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lutfi (2003) menunjukkan penurunan dengan penutupan karang hidup yang hanya sebesar 19,08 %. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di Pulau Panjang mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
        Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Biota Laut Ambon dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Augy Syahailatua, mengatakan saat ini tinggal 10 persen terumbu karang di wilayah perairan Maluku yang masih bagus. Sedangkan sisanya rusak.
    Sekitar 50 persen terumbu karang di Provinsi Bangka Belitung (Babel) rusak akibat sedimentasi lumpur yang berasal dari aktivitas penambangan timah di perairan provinsi kepulauan berpenduduk 1,2 juta jiwa tersebut. Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang, Universitas Bangka Belitung (UBB), Indra Ambalika di Pangkalpinang, menjelaskan kerusakan terjadi akibat terumbu karang tertutup lumpur terkait kegiatan kapal isap dan tambang inkonvensional (TI) apung yang terus menyedot timah di wilayah perairan.
Solusi Yang Telah Diajukan Dalam Jangka Panjang Yaitu COREMAP
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.
Pentahapan
COREMAP pada awalnya direncanakan untuk 15 tahun, yang terdiri dari tiga tahap, yang berturut-turut mempunyai tujuan sebagai berikut:
Tahap I, Tahap Inisiasi (1998 – 2001): untuk menetapkan landasan kerangka kerja sistem nasional terumbu karang;
Tahap II, Tahap Akselerasi (2001 – 2007): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal di daerah-daerah prioritas;
Tahap III, Tahap Pelembagaan (2007 – 2013): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, dengan pelaksanaan terdesentralisasi, dan telah melembaga.
Setelah COREMAP dimulai kemudian terjadi perubahan besar dalam tata pemerintahan di Indonesia, dimana pemenrintahan yang sebelumnya mempunyai kewenangan yang sangat sentralistik menjadi terdesentralisasi. Sebagai akibatnya, implementasi program juga harus disesuaikan, dengan perubahan pentahapan sebagai berikut:
- Tahap  I, Tahap Inisiasi (1998 – 2004);
- Tahap II , Tahap Desentralisasi dan Akselerasi (2004 – 2009)
- Tahap III, Tahap Pelembagaan (2010 – 2015).
Tujuan dan Kegunaan
Agar pengelolaan sumberdaya dapat terlaksana dengan baik, maka dibutuhkan sebuah rencana pengelolaan yang merupakan perwujudan dari rencana Pemerintah Desa dan masyarakat yang sejalan dengan strategi Pembangunan Daerah. Pembuatan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang sebagai salah satu kegiatan pada program COREMAP II bertujuan untuk;
1.Memberikan arahan yang jelas dalam pengelolaan sumberdaya desa, agar sasaran pengelolaan dapat dicapai sesuai dengan yang diinginkan.
2.Mendukung program Pemerintah Desa dan Daerah dalam meletakkan dasar pembangunan
3.Menumbuh kembangkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya terumbukarang serta sumberdaya lainnya secara mandiri dan berkelanjutan.
Kegunaan dari kegiatan pembentukan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang ini adalah;
1.Menjadi acuan pelaksanaan pembangunan desa khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan
2.Sebagai dasar dalam upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pada masyarakat desa disamping peningkatan kelembagaan ditingkat desa, baik yang telah lama terbentuk maupun lembaga yang baru dibentuk
3.Sebagai pendukung dalam upaya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa khususnya
Visi Program
Apa yang diharapkan setelah program ini berakhir:
-        Kekayaan terumbu karang dan ekosistem terkait dapat dilestarikan;
-        Masyarakatpesisir mencapai keseimbangan antara lingkungan hidup dan kesejahteraan mereka;
-        Masyarakat pesisir telah berdaya untuk melindungi sendiri lingkungan mereka;
-        Masyarakat pesisir tidak lagi terasing dari pembangunan;
-        Kesadaran dan perilaku masyarakat semakin baik terhadap terumbu karang;
-        Orang luar dapat menghargai apa yang telah dilakukan masyarakat untuk melindungi terumbu karang;
-        Terciptanya pendekatan kerjasama dan partisipasi antara masyarakat, LSM, dan Pemerintah, untuk mencapai tujuan bersama;
-        Perilaku destruktif (seperti pemboman) telah merupakan masa lalu;
-        Nelayan telah dapat memanen ikan tak jauh dari pantai, tak perlu lagi berlayar jauh untuk itu;
-        Anak-anak dapat bermain di pantai yang indah.
2.5 Pencapaian COREMAP II Sekarang
Tahun 2011 ini merupakan tahun terakhir implementasi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II (COREMAP II) di Indonesia. Coremap tahap II merupakan fase Akselerasi untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal di daerah-daerah prioritas, yang merupakan kelanjutan dari COREMAP tahap I (Inisiasi). Pasca COREMAP II, bagian akhir tahapan program COREMAP adalah COREMAP III (Institusionalisasi), yang bertujuan untuk menetapkan system pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, secara desentralisasi dan melembaga.
Tahun terakhir COREMAP tahap II ini merupakan tahun yang kritis, diharapkan tidak terjadi penundaan yang mengakibatkan tidak terlaksananya kegiatan, sehingga tujuan yang telah digagas COREMAP II dapat terpenuhi melalui beberapa rangkaian aktivitas telah direncanakan, tentunya dengan pengalokasian anggaran yang juga harus cermat. Sebagai penutup rangkaian perjalanan 8 (delapan) tahun program COREMAP II, hasil-hasil capaian program ini akan dikompilasi. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dan mata pencaharian alternatif yang langsung masyarakat desa ditingkatkan, penguatan kapasitas, percontohan di lokasi program, penguatan pengelolaan kawasan konservasi perairan serta target-target yang belum tercapai lebih difokuskan penggarapannya. Seluruh kegiatan diharapkan dapat tercapai pada Oktober 2011, karena pada awal November tahun ini direncanakan akan menggelar penutupan COREMAP II sebagai sebuah puncak pencapaian. Ringkasnya, pada tahun ini paling tidak ada tiga hal yang dilakukan, yang pertama: mengejar target yang belum tercapai, kedua: mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan program secara keseluruhan dan ketiga: menyiapkan exit strategy dan keberlanjutan program (COREMAP III). Mudah-mudahan ketiganya dapat secara simultan dilaksanakan.
Sejauh ini pencapaian program COREMAP II hampir memenuhi seluruh tujuan pada tahapan akselerasi ini, khususnya pencapaian pada tiga komponen penting dalam program Coremap, dapat dijaabarkan sebagai berikut: PERTAMA adalah, Penguatan kelembagaan, dan pengembangan kawasan konservasi perairan laut daerah., Upaya Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Terumbu Karang  di tingkat pusat dan daerah, telah tercapai melalui kegiatan asistensi dan koordinasi yang terus dilakukan.  COREMAP telah dan terus mendorong diterbitkannya
Peraturan Daerah dan Rencana Strategis daerah dalam Pengelolaan Terumbu Karang, Sampai saat ini sedikitnya 7 (tujuh) Peraturan daerah kabupaten/kota dan 15 (lima belas) Rencana Strategis telah disyahkan dan diadopsi oleh pemerintah daerah. Saat ini telah  dicadangkan lebih dari 2 juta hektar Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Daerah di 10 lokasi program, dan lebih dari 430 daerah perlindungan laut yang telah terbentuk dan dikelola secara efektif oleh masyarakat. Terbentuknya sistem informasi pengelolaan ekosistem terumbu karang
Terlaksananya Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat dan POKMASWAS, serta terlaksananya monitoring ekologi dan sosek secara berkala (CRITC Pusat dan Daerah); KEDUA adalah komponen Pengelolaan Terumbu Karang berbasis masyarakat, ini meliputi: Pelatihan
Perikanan Terumbu Karang secara berkelanjutan, pemasaran Sosial Pengelolaan Terumbu Karang, pembangunan infrastruktur sosial pendukung, penciptaan mata pencaharian alternatif/MPA (lebih dari 4500 kegiatan MPA); Fasilitasi di Desa dan Bantuan Teknis; Tersedianya sarana dan prasarana sosial (Fasilitas Kebersihan, Pondok Informasi, Jetty, Perahu dll), Pembentukan Pusat Informasi Terumbu Karang di desa, dalam hitungan angka, sampai saat ini telah terbentuk 411 LPSTK  dan sekitar 2000 POKMAS dengan jumlah anggota 25.000 orang, adanya sistem pendanaan skala mikro di Masyarakat (Seed Fund) dan Village Grant, terbentuknya 430 DPL berbasis masyarakat beserta Perdes, berkurangnya kegiatan penangkapan destruktif secara signifikan, serta adanya dukungan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan.kegiatan ini telah dilaksanakan di lebih dari 300 desa,  dan dibantu oleh 728 fasilitator dan 8 NGO di 15 lokasi COREMAP.  KETIGA, kegiatan Penyadaran Masyarakat dan Pendidikan maupun kemitraan bahari. Melalui ketiga komponen penting tersebut COREMAP II telah menunjukkan perannya untuk turut mengelola terumbu karang bagi perikanan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Beberapa capaian diantaranya:
Langkah Strategis yang Seharusnya Dilakukan
COREMAP memang memiliki tujuan dan visi program yang sangat baik dalam menjaga ekosistem terumbu karang. Tapi akar masalah yang sebenarnya yang terletak pada nelayan sendiri seakan belum bisa ditangani dengan maksimal. Yaitu masalah dasar pola pikir nelayan, ketidaktahuan, dan yang paling utama adalah kesejahteraan. Nelayan sering tetap tidak peduli walau dilakukan penyuluhan akibat mengutamakan kesejahteraan mereka. Dan mereka terlihat semakin leluasa akibat walau ada peraturan dan hukum mereka tetap bisa leluasa melakukan aksinya dan pemasokan bahan baku alat tangkap ilegal itu tetap dengan mudah nelayan dapat peroleh. Pragram ini selayaknya akan sukses bila pemerintah atau penyelengara program ini dapat lebih dekat dan mengenal kondisi nelayan masa kini. Dan juga perlu memperoleh dukungan dari penegak hukum dan dukungan dari perhatian pemerintah.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kegiatan illegal fishing baik secara internal maupun secara eksternal. Faktor-faktor yang menyebabkan kegiatan ini dapat terjadi meliputi adanya pelaku kegiatan yang didasari karena kurangnya kesadaran akan pentingnya sumberdaya perikanan, adanya pasokan bahan baku khususnya untuk kegiatan pemboman dan kegiatan pembiusan, Lemahnya informasi dan pengetahuan yang dimiliki nelayan tentang kerugian yang ditimbulkan akibat illegal fishing, kemiskinan masyarakat nelayan, lemahnya hukum tentang perikanan, dan kurangnya armada perikanan yang dimiliki.
Sebenarnya akar permasalahan kerusakan terumbu karang meliputi empat hal yaitu :
(1) Kemiskinan masyarakat dan ketiadaan matapencaharian alternatif
(2) ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat dan pengguna
(3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan
(4) kebijakan pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang.
Umumnya Semua faktor yang ada harus segera dicarikan pemecahan yang baik sehingga kegiatan illegal fishing yang terjadi dapat cepat teratasi dan tidak lagi merusak keadaan ekosistem perairan terutama kehidupan ekosistem karang. Apabila faktor tersebut tidak diatasi dengan baik maka diperkirakan dalam beberapa tahun kedepan akan terjadi kerusakan ekosistem perairan secara besar-besaran khususnya daerah karang yang berdampak pada turunnya produktifitas dari perikanan tangkap khususnya pada daerah karang.
Antisipasi yang dapat dilakukan terhadap illegal fishing
Dalam menanggulangi permasalahan illegal fishing yang ada sehingga tidak berkelanjutan dan menyebabkan kerusakan yang berdampak besar maka diperlukan solusi yang tepat untuk menekan terjadinya kegiatan tersebut seperti:
1) peningkatan kesadaran masyarakat nelayan akan bahaya yang ditimbulkan dari
illegal fishing.
2) peningkatan pemahaman dan pengetahuan nelayan tentang illegal fishing.
3) melakukan rehabilitasi terumbu karang.
4) membuat alternatife habitat karang sebagai habitat ikan sehingga daerah karang alami tidak rusak akibat penangkapan ikan.
5) mencari akar penyebab dari masing-masing masalah yang timbul dan mencarikan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
6) melakukan penegakan hukum mengenai perikanan khususnya dalam hal pemanfaatan
yang bertanggung jawab.
7) meningkatkan pengawasan dengan membuat badabn khusus yang menangani dan bertanggung jawab terhadap kegiatan illegal fishing.
Dari ketujuh solusi yang dapat dilakukan, hal yang paling mendasar untuk diatasi adalah peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat nelayan mengenai illegal. Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah pesisir. Agar betul-betul bisa langsung menyerang akar permasalahan dan menanamkan kesadaran sejak awal untuk menjaga terumbu karang. Tapi penyuluhan itu tidak akan dapat bertahan lama jika akar dari semua masalah itu tidak segera di selesaikan yaitu faktor kemiskinan.
Tapi semua solusi di atas masih kurang maksimal karena pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang, dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti.
III.KESIMPULAN
Dengan meningkatkan kesadaran nelayan maka pemikiran nelayan akan terbuka dan nelayan akan mengerti betapa merugikannya melakukan kegiatan illegal fishing dalam proses penangkapan ikan khususnya pada daerah karang sehingga kegiatan penangkapan tersebut dapat beralih menjadi penangkapan yang ramah lingkungan dan menjadikan ekosistem perairan khususnya ekosistem terumbu karang tempat dimana dilakukannya proses penangkapan dapat lestari. Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah pesisir. Agar betul-betul bisa langsung menyerang akar permasalahan dan menanamkan kesadaran sejak awal untuk menjaga terumbu karang.
Walau kesadaran sudah tercipta tapi tetap tidak akan bertahan lama jika masalah kesejahteraan nelayan tidak segera ditangani. Oleh sebab itu sangat membutuhkan campur tangan pemerintah karena memang sudah seharusnya begitu.Dengan adanya bantuan pemerintah yang tepat sasaran maka peningkatan kesejahteraan nelayan sudah tidak jadi sekedar impian lagi tapi dapat diwujudkan.
Sekarang tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan illegal fishing pada ikan-ikan karang khususnya untuk memperbaiki daerah karang yang rusak adalah dengan melakukan transpalasi karang ataupun pembuatan terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan adalah suatu struktur yang dibangun untuk menyediakan lingkungan, habitat, sumber makanan, tempat pemijahan dan asuhan, serta perlindungan pantai sebagaimana halnya terumbu karang alam.
Karena pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang, dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti. Dengan Terlaksananya semua hal di atas pasti akan memberikan dampak nyata pada nelayan dan kelestarian terumbu karang walau mungkin tidak dalam waktu singkat untuk menyelesaikan masalah ini sepenuhnya.

Minggu, 14 September 2014

TEKNIK PEMBENIHAN IKAN BANDENG

Keberhasilan dalam budidaya ikan bandeng sangat di tentukan dengan persiapan benih yang baik sesuai dengan standar untuk budidaya yang baik. Pembuatan benih yang berkualitas memerlukan langkah-langkah persiapan yang terencana dengan baik pelaksanaan pembenihan yang diharapkan berhasil dengan baik.
1. Alasan Melakukan Pembenihan 
Benih bandeng (nener) merupakan salah satu sarana produksi yang utama dalam usaha budidaya bandeng di tambak. Perkembangan Teknologi budidaya bandeng di tambak dirasakan sangat lambat dibandingkan dengan usaha budidaya udang. Faktor ketersediaan benih merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan teknologi budidaya bandeng. Selama ini produksi nener alam belum mampu untuk mencukupi kebutuhan budidaya bandeng yang terus berkembang, oleh karena itu peranan usaha pembenihan bandeng dalam upaya untuk mengatasi masalah kekurangan nener tersebut menjadi sangat penting. Tanpa mengabaikan arti penting dalam pelestarian alam, pengembangan wilayah, penyediaan dukungan terhadap pembangunan perikanan khususnya dan pembangunan nasional umumnya, kegiatan pembenihan bandeng di hatchery harus diarahkan untuk tidak menjadi penyaing bagi kegiatan penangkapan nener di alam. Diharapkan produksi benih nener di hatchery diarahkan untuk mengimbangi selisih antara permintaan yang terus meningkat dan pasok penangkapan di alam yang diduga akan menurun.
Teknologi produksi benih di hatchery telah tersedia dan dapat diterapkan baik dalam suatu Hatchery Lengkap (HL) maupun Hatchery Sepenggal (HS) seperti Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Produksi nener di  hatchery sepenggal dapat diandalkan. Karena resiko kecil, biaya rendah dan hasil memadai. Hatchery sepenggal sangat cocok dikembangkan di daerah miskin sebagai salah satu upaya penaggulangan kemiskinan bila dikaitkan dalam pola bapak angkat dengan hatchery lengkap (HL). Dilain pihak, hatchery lengkap (HL) dapat diandalkan sebagai produsen benih bandeng (nener) yang bermutu serta tepat musim,  jumlah dan harga. Usaha pembenihan bandeng di hatchery dapat mengarahkan kegiatan budidaya menjadi kegiatan yang mapan dan tidak terlalu dipengaruhi kondisi alam serta tidak memanfaatkan sumber daya secara berlebihan. Dalam siklusnya yang utuh, kegiatan budidaya bandeng yang mengandalkan benih hatchery bahkan dapat mendukung kegiatan pelestarian sumberdaya baik melalui penurunan terhadap sumber daya benih species lain yang biasa terjadi pada penangkapan nener di alam maupun melalui penebaran di perairan pantai (restocking).
Disisi lain, perkembangan hatchery bandeng di kawasan pantai dapat dijadikan titik tumbuh kegiatan ekonomi dalam rangka pengembangan wilayah dan penyerapan tenaga kerja yang mengarah pada pembangunan berwawasan lingkungan. Pada giliranya, tenaga yang terserap di hatchery itu sendiri selain berlaku sebagai produsen juga berlaku sebagai konsumen bagi kebutuhan kegiatan sehari-hari yang dapat mendorong kegiatan ekonomi masyarakat sekitar hatchery.
2. PERSYARATAN LOKASI
Pemilihan tempat perbenihan bandeng harus mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persyaratan lokasi adalah sebagai berikut:
1) Status tanah dalam kaitan dengan peraturan daerah dan jelas sebelum hatchery dibangun.
2) Mampu menjamin ketersediaan air dan pengairan yang memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan;
- Pergantian air minimal; 200 % per hari.
- Suhu air, 26,5-310C.
- PH; 6,5-8,5.
- Oksigen larut; 3,0-8,5 ppm.
- Alkalinitas 50-500ppm.
- Kecerahan 20-40 cm (cahaya matahari sampai ke dasar pelataran).
- Air terhindar dari polusi baik polusi bahan organik maupun an organik.
3) Sifat-sifat perairan pantai dalam kaitan dengan pasang surut dan pasang arus perlu diketahui secara rinci.
4) Faktor-faktor biologis seperti kesuburan perairan, rantai makanan, species dominan, keberadaan predator dan kompetitor, serta penyakit endemik harus diperhatikan karena mampu mengakibatkan kegagalan proses produksi.
3.   SARANA DAN PRASARANA
1) Sarana Pokok
Fasilitas pokok yang dimanfaatkan secara langsung untuk kegiatan produksi adalah bak penampungan air tawar dan air laut, laboratorium basah, bak pemeliharaa larva, bak pemeliharaan induk dan inkubasi telur serta bak pakan alami.
a. Bak Penampungan Air Tawar dan Air Laut.
Bak penampungan air (reservoir) dibangun pada ketinggian sedemikian rupa sehingga air dapat didistribusikan secara gravitasi ke dalam bak-bak dan sarana lainnya yang memerlukan air (laut, tawar bersih). Sistim pipa pemasukkan dan pembuangan air perlu dibangun pada bak pemelihara induk, pemeliharaan larva, pemeliharan pakan alami, laboratorium kering dan basah serta saran lain yang memerlukan air tawar dan air laut serta udara (aerator). Laboratorium basah sebaiknya dibangun berdekatan dengan bangunan pemeliharaan larva dan banguna kultur murni plankton serta diatur menghadap ke kultur masal plankton dan dilengkapi dengan sistim pemipaan air tawar, air laut dan udara.
b. Bak Pemeliharaan Induk
Bak pemeliharaan induk berbentuk empat persegi panjang atau bulat dengan kedalaman lebih dari 1 meter yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan dapat diletakkan di luar ruangan langsung menerima cahaya tanpa dinding.
c. Bak Pemeliharan Telur
Bak perawatan telur terbuat dari akuarium kaca atau serat kaca dengan daya tampung lebih dari 2.000.000 butir telur pada kepadatan 10.000 butir per liter. 
d. Bak Pemeliharaan Larva
Bak pemeliharaan larva yang berfungsi juga sebagai bak penetasan telur dapat terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton, sebaiknya berwarna agak gelap, berukuran (4x5x1,5) m3 dengan volume 1-10 ton berbentuk bulat atau bujur sangkar yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan diletakkan di dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding balik. Untuk mengatasi penurunan suhu air pada malam hari, bak larva diberi penutup berupa terpal plastik untuk menyangga atap plastik, dapat digunakan bentangan kayu/bambu.
e. Bak Pemeliharaan Makanan Alami, Kultur Plankton Chlorella sp dan Rotifera. 
Bak kultur plankton chlorella sp disesuaikan dengan volume bak pemeliharaan larva yang terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton ditempatkan di luar ruangan yang dapat langsung mendapat cahaya matahari. Bak perlu ditutup dengan plastik transparan pada bagian atasnya agar cahaya juga bisa masuk ke dalam bak untuk melindungi dari pengaruh air hujan. 
a)  Bak kultur chlorella         
b) Tabung tempat kultur rotifera
Kedalamam bak kultur chlorella sp harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga penetrasi cahaya matahari dapat dijamin mencapai dasar tangki. Kedalaman air dalam tangki disarankan tidak melebihi 1 meter atau 0,6 m, ukuran bak kultur plankton chlorella sp adalah (20 x 25 x 0,6)m3. Bak kultur rotifera terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton yang ditempatkan dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding. Perbandingan antara volume bak chlorella, rotifera dan larva sebaliknya 5:5:1.
2) Sarana Penunjang
Untuk menunjang perbenihan sarana yang diperlukan adalah laboratorium pakan alami, ruang pompa,air blower, ruang packing, ruang genset, bengkel, kendaraan roda dua dan roda empat serta gudang (ruang pentimpanan barangbarang opersional) harus tersedia sesuai kebutuhan dan memenuhi persyaratan dan ditata untuk menjamin kemudahan serta keselamatan kerja.
a. Laboratorium pakan alami seperti laboratorium fytoplankton berguna sebagai tempat kultur murni plankton yang ditempatkan pada lokasi dekat hatchery yang memerlukan ruangan suhu rendah yakni 22~25 0C.
b.Laboratorium kering termasuk laboratorium kimia/mikrobialogi sebaiknya dibangun berdekatan dengan bak pemeliharaan larva berguna sebagai bangunan stok kultur dan penyimpanan plankton dengan suhu sekitar 22~25 0C serta dalam ruangan. Untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemasaran hasil dilengkapi dengan fasilitas ruang pengepakan yang dilengpaki dengan sistimpemipaan air tawar dan air laut, udara serta sarana lainnya seperti peti kedap air, kardus, bak plastik, karet dan oksigen murni. Alat angkut roda dua dan empat yang berfungsi untuk memperlancar pekerjaan dan pengangkutan hasil benih harus tersedia tetap dalam keadaan baik dan siap pakai. Untuk pembangkit tenaga listrik atau penyimpanan peralatan dilengkapi dengan fasilitas ruang genset dan bengkel, ruang pompa air dan blower, ruang pendingin dan gudang.
3) Sarana Pelengkap
Sarana pelengkap dalam kegiatan perbenihan terdiri dari ruang kantor, perpustakaan, alat tulis menulis, mesin ketik, komputer, ruang serbaguna, ruang makan, ruang pertemuan, tempat tinggal staf dan karyawan.