Minggu, 09 November 2014

MENGENAL MANFAAT CHLORELLA DAN PERKEMBANGANYA

Klasifikasi dan Morfologi
Nama Chlorella berasal dari zat bewarna hijau (chlorophyll) yang juga berfungsi sebagai katalisator dalam proses fotosintesis (Steenblock 2000). Chlorella sp. (Gambar 1) oleh Bold dan Wynne (1985) dikategorikan ke dalam kelompok alga hijau yang memiliki jumlah genera sekitar 450 dan jumlah spesies lebih dari 7500.
Nama alga hijau diberikan karena kandungan zat hijau (chlorophyll)  yang dimilikinya sangat tinggi, bahkan melebihi jumlah yang dimiliki oleh beberapa tumbuhan tingkat tinggi. Klasifikasi Chlorella sp. menurut Bold dan Wynne (1985) adalah sebagai berikut:
Divisi    : Chlorophyta
Kelas    : Chlorophyceae
Ordo    : Chlorococcales
Famili    : Oocystaceae
Genus    : Chlorella
Spesies : Chlorella sp.
Bentuk umum sel-sel Chlorella adalah bulat atau elips (bulat telur), termasuk fitoplankton bersel tunggal (unicellular) yang soliter, namun juga dapat dijumpai hidup dalam koloni atau bergerombol. Diamater sel umumnya berkisar antara 2-12  mikron, warna hijau karena pigmen yang mendominasi adalah klorofil (Bold 1980). Chlorella sp. merupakan organisme eukariotik (memiliki inti sel) dengan dinding sel yang tersusun dari komponen selulosa dan pektin sedangkan protoplasmanya berbentuk cawan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
2.1.2   Habitat dan Ekologi
Berdasarkan habitat hidupnya Chlorella dapat dibedakan menjadi Chlorella air tawar dan Chlorella air laut. Chlorella air tawar dapat hidup dengan kadar salinitas hingga 5 ppt. Contoh Chlorella yang hidup di air laut adalah Chlorella vulgaris, Chlorella pyrenoidosa, Chlorella virginica dan lain-lain (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Umumnya Chlorella bersifat planktonis yang melayang di dalam perairan, namun beberapa jenis Chlorella juga ditemukan mampu bersimbiosis dengan hewan lain misalnya Hydra dan beberapa Ciliata air tawar seperti Paramecium bursaria ( Dolan  1992).
2.1.3  Reproduksi
Reproduksi Chlorella adalah aseksual dengan pembentukan autospora yang merupakan bentuk miniatur dari sel induk. Tiap satu sel induk (parrent cell) akan membelah menjadi 4, 8, atau 16 autospora yang kelak akan menjadi sel-sel anak (daughter cell) dan melepaskan diri dari induknya (Bold dan Wynne 1985).
Proses reproduksi Chlorella dapat dibagi menjadi 4 tahap (Kumar dan Singh 1979 ) yaitu:
Tahap pertumbuhan, pada tahap ini sel Chlorella tumbuh membesar. Tahap pemasakan awal saat terjadi peningkatan aktivitas sintesa yang merupakan persiapan awal pembentukan autospora. Tahap pemasakan akhir, pada tahap ini autospora terbentuk.
Tahap pelepasan autospora, dinding sel induk akan pecah dan diikuti oleh pelepasan autospora yang akan tumbuh menjadi sel induk muda.
2.2 Kultur Chlorella sp.
2.2.1  Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangbiakan Chlorella sp.
Menurut Bold dan Wynne (1985), perkembangbiakan Chlorella sp. dalam kultur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: media, nutrien atau unsur hara, cahaya, suhu, serta salinitas. Media merupakan tempat hidup bagi kultur Chlorella yang pemilihannya ditentukan pada jenis Chlorella yang akan dibudidayakan. Bahan dasar untuk preservasi media yang dapat digunakan adalah agar-agar.
Nutrien terdiri atas unsur-unsur hara makro (macronutrients) dan unsur hara mikro (micronutrients) . Contoh unsur hara makro untuk perkembangbiakan Chlorella adalah senyawa anorganik seperti N, K, Mg, S dan P. Unsur hara mikro adalah Fe, Cu, Zn, Mn, B, dan Mo (Basmi 1995). Unsur hara tersebut diperoleh dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain (Bold 1980). Tiap unsur hara memiliki fungsi-fungsi khusus (Tabel 1) yang tercermin pada perkembangbiakan dan kepadatan yang dicapai oleh organisme Chlorella yang dikultur tanpa mengesampingkan pengaruh dari lingkungan.
Kebutuhan nutrien untuk tujuan kultur fitoplankton harus tetap terpenuhi melalui penambahan media pemupukan guna menunjang perkembangbiakan fitoplankton. Unsur N, P, dan S penting untuk sintesa protein. Unsur K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Unsur Cl dimanfaatkan untuk aktivitas kloroplas, unsur Fe dan unsur Na berperan dalam pembentukan klorofil (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995; Oh hama dan Miyachi 1988).
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton di kultur terbuka antara lain: cahaya, suhu, tekanan osmosis, pH air, kandungan O2 dan aerasi (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Cahaya merupakan sumber energi untuk melakukan fotosintesis. Cahaya matahari yang diperlukan oleh fitoplankton dapat digantikan dengan lampu TL atau tungsten. Oh hama dan Miyachi (1988) menyatakan bahwa intensitas cahaya saturasi untuk Chlorella berada pada intensitas 4000 lux. Hal ini menunjukkan bahwa setelah titik intensitas tersebut dicapai, maka fotosintesis tidak lagi meningkat sehubungan dengan peningkatan porsi intensitas cahaya (Basmi 1995).
Tabel 1. Fungsi Fisiologis Umum Unsur Makro dan Mikro
Karbon    Unsur pokok bahan sel organik.
Nitrogen    Unsur pokok protein, asam nukleat dan koenzim.
Belerang    Unsur pokok protein (seperti: asam amino sistein dan metionin), Unsur pokok beberapa koenzim (koenzim-A, karboksilase).
Fosfor    Unsur pokok asam nukleat, fosfolipid, koenzim.
Kalium    Berfungsi dalam proses fotosintesis, pengangkutan hasil asimilasi, enzim dan mineral termasuk air.
Magnesium    Kation penting untuk sel, kofaktor anorganik untuk berbagai reaksi enzimatik termasuk melibatkan ATP, berfungsi dalam pengikatan enzim pada substrat dan unsur pokok klorofil.
Mangan    Kofaktor anorganik untuk beberapa enzim, kadang-kadang menggantikan Mg.
Kalsium    Kation penting untuk sel, kofaktor untuk beberapa enzim ( misalnya proteinase ).
Besi    Unsur pokok sitokrom dari protein heme dan non heme yang lain, kofaktor untuk sejumlah enzim.
Kobalt    Unsur pokok vitamin B12 dan turunan koenzim.
Tembaga    Metabolisme protein dan karbohidrat serta berperan terhadap fiksasi N
Molibdenum    Unsur pokok anorganik enzim-enzim yang khusus.
Seng    Unsur pokok anorganik enzim-enzim yang khusus.
Sumber : Stainer et al. (1982)
Kisaran suhu optimal bagi perkembangbiakan Chlorella adalah antara 25-300C (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Taw (1990) untuk kultur Chlorella diperlukan suhu antara 25-350C. Penelitian lain menunjukkan bahwa untuk jenis Chlorella vulgaris dapat beradaptasi pada media kultur dengan suhu serendah 50C (Maxwell et al. 1994). Suhu mempengaruhi proses-proses fisika, kimia, biologi yang berlangsung dalam sel fitoplankton. Peningkatan suhu hingga batas tertentu akan merangsang aktifitas molekul, meningkatnya laju difusi dan juga laju fotosintesis (Sachlan 1982). Suhu di bawah 160C dapat menyebabkan kecepatan perkembangbiakan Chlorella sp. turun, sedangkan suhu diatas 360C dapat menyebabkan kematian (Taw 1990).
Nilai pH media kultur merupakan faktor pengontrol yang menentukan kemampuan biologis fitoplankton dalam memanfaatkan unsur hara. Nilai pH yang terlalu tinggi misalnya, akan mengurangi aktifitas fotosintesis fitoplankton (De La Noue dan De Pauw 1988). Nielsen (1955) menyatakan bahwa pH yang sesuai untuk perkembangbiakan Chlorella berkisar antara 4,5-9,3 dan kisaran optimum untuk Chlorella laut berkisar antara 7,8-8 ,5. Secara umum kisaran pH yang optimum untuk kultur Chlorella adalah antara 7-9.
Karbondioksida (CO2) diperlukan oleh fitoplankton untuk membantu proses fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-2% biasanya sudah cukup digunakan dalam kultur fitoplankton dengan intensitas cahaya yang rendah. Kadar CO2 yang berlebih dapat menyebabkan pH kurang dari batas optimum sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangbiakan fitoplankton (Taw 1990).
Aerasi dalam kultur fitoplankton digunakan dalam proses pengadukan media kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga fitoplankton dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media (Taw 1990).
2.2.2  Fase Perkembangbiakan Chlorella sp.
Perkembangbiakan fitoplankton dalam media kultur dapat diamati dengan melihat pertambahan besar ukuran sel fitoplankton atau dengan mengamati pertambahan jumlah sel dalam satuan tertentu. Cara kedua lebih sering digunakan untuk mengetahui perkembangbiakan fitoplankton dalam media kultur, yaitu dengan menghitung kelimpahan atau kepadatan sel fitoplankton dari waktu ke waktu. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) ada dua cara penghitungan kepadatan fitoplankton yaitu menggunakan sedgwich rafter dan menggunakan haemocytometer. Penggunaan haemocytometer untuk menghitung kepadatan sel fitoplankton lebih sering digunakan dibandingkan sedgwich rafter karena faktor kemudahannya. Selama pertumbuhannya fitoplankton dapat mengalami beberapa fase pertumbuhan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995), yaitu :
a.  Fase Lag (Fase Istirahat)
Dimulai setelah penambahan inokulum ke dalam media kultur hingga beberapa saat sesudahnya. Pada fase ini peningkatan paling signifikan terlihat pada ukuran sel karena secara fisiologis fitoplankton menjadi sangat aktif. Proses sintesis protein baru juga terjadi dalam fase ini. Metabolisme berjalan tetapi pembelahan sel belum terjadi sehingga kepadatan sel belum meningkat karena fitoplankton masih beradaptasi dengan lingkungan barunya. b.  Fase Logaritmik (Fase Eksponensial)
Fase ini dimulai dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang meningkat secara intensif. Bila kondisi kultur optimum maka laju pertumbuhan pada fase ini dapat mencapai nilai maksimal dan pola laju pertumbuhan dapat digambarkan dengan kurva logaritmik. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Chlorella sp. dapat mencapai fase ini dalam waktu 5-7  hari. c.  Fase Penurunan Laju Pertumbuhan
Pembelahan sel tetap terjadi pada fase ini, namun tidak seintensif fase sebelumnya, sehingga laju pertumbuhan juga mengalami penurunan dibandingkan fase sebelumnya.
d.  Fase Stasioner
Pada fase ini laju reproduksi dan laju kematian relatif sama. Penambahan dan pengurangan jumlah fitoplankton seimbang sehingga kepadatannya relatif tetap ( stasioner ).
e.  Fase Kematian
Fase ini ditandai dengan laju kematian yang lebih besar daripada laju reproduksi sehingga jumlah sel mengalami penurunan secara geometrik. Penurunan kepadatan sel fitoplankton ditandai dengan perubahan kondisi optimum yang dipengaruhi oleh suhu, cahaya, pH media, ketersediaan hara, dan beberapa faktor lain yang saling terkait satu sama lain.
Secara skematis pola perkembangbiakan dari fitoplankton, khususnya Chlorella sp. dapat dilihat pada Gambar 2.
2.3   Pupuk
Pemupukan biasanya yang digunakan dalam kultur Chlorella sp. yakni pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP sebagai unsur hara makro dan unsur mikro bagi perkembangbiakan Chlorella sp.
Pengertian pupuk secara umum adalah suatu bahan yang bersifat organik ataupun anorganik, bila ditambahkan kedalam tanah atau tanaman, dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, biologi tanah dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Nitrogen merupakan unsur penting bagi pertumbuhan tanaman terutama pada fase vegetatif. Saat fase ini terjadi tiga proses penting yaitu pembelahan sel, pemanjangan sel dan tahap diferensiasi sel (Hladka 1971). Shelf dan Soeder (1980) menyatakan bahwa nitrogen merupakan bagian penting dari protein, protoplasma, klorofil, dan asam nukleat. Vegetasi tingkat rendah maupun tinggi menyerap N dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-).
Organisme berklorofil yang kekurangan nitrogen akan berubah warna selnya menjadi kekuningan karena adanya penghambatan síntesis klorofil. Pemupukan nitrogen yang berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang berlebihan. Kekurangan N juga akan membatasi pertumbuhan karena tidak ada pembentukan protoplasma baru. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan N tanaman (mengatur nisbah C/N) dengan memberikan pupuk N ke tanah.
Chlorella sp. tidak dapat membedakan dan tidak bisa memilih unsur hara yang diserap berasal dari pupuk organik atau pupuk kimia. Chlorella sp. menyerap unsur hara (N, P, K, dan sebagainya) melalui mekanisme pertukaran ion, dan dalam bentuk ion-ion anorganik. Agar dapat diserap oleh Chlorella sp., pupuk organik harus melalui serangkaian proses perombakan oleh mikroba dalam tanah menjadi ion-ion anorganik/kimia. Jadi yang diserap Chlorella sp. pada akhirnya tetap saja berupa ion-ion anorganik / kimia (Hardjowigeno 2007).
2.3.1   Pupuk Urea
Pupuk urea (Gambar 3) yang dikenal dengan nama rumus kimianya NH2CONH2 pertama kali dibuat secara sintetis oleh Wohler (1928) dengan mereaksikan garam cianat dengan ammonium hidroksida.
Pupuk urea yang dibuat merupakan reaksi antara karbon dioksida (CO2) dan ammonia (NH3). Kedua senyawa ini berasal dari bahan gas bumi, air dan udara. Ketiga bahan baku tersebut merupakan kekayaan alam yang terdapat di Sumatera Selatan (Hardjowigeno 2007).
Untuk mendapatkan konsentrasi urea yang lebih tinggi maka dilakukan pemekatan dengan cara:
Penguapan larutan urea di bawah vacuum (ruang hampa udara, tekanan 0,1 atmosfir mutlak), sehingga larutan menjadi jenuh dan mengkristal.
Memisahkan kristal dari cairan induknya dengan centrifuge.
Penyaringan kristal dengan udara panas.
(Sumber : http://www.canadianagri.ca, 10 Februari 2013)
2.3.2  Pupuk ZA (Zwavelzuur Amonia)
Pupuk ZA (Gambar 4) mendapatkan nama panjangnya, Zwavelzuur Amonia dari bahasa Belanda. Nama kimia ZA adalah amonium sulfat dengan rumus kimia (NH4)2SO4. Senyawa garam anorganik ini memiliki memiliki kandungan nitrogen sekitar 20% dan sulfur sekitar 24% sehingga tujuan produksinya adalah sebagai pupuk pertanian (George dan Sussot 1971).
Gambar 4. Pupuk ZA
(Sumber : http://www.trivenichemical.com, 10 Februari 2013)
Bentuk pupuk ZA yang dapat dijumpai di pasaran adalah seperti bubuk kasar atau bongkahan-bongkahan kecil bewarna putih seperti gula pasir dan mudah larut dalam air. Penggunaan pupuk ZA dalam bidang pertanian yang berlebihan dapat menyebabkan turunnya pH tanah.
2.3.3  Pupuk TSP (Triple Super Phospate)
Fosfor (P)  merupakan salah satu unsur makro primer yang dibutuhkan oleh tanaman (Tisdale dan Nelson 1975). Kekurangan unsur P dapat diamati dari adanya gejala tertundanya pematangan sel. Bold and Wynne (1985) menyatakan gejala kekurangan P juga biasanya tampak pada fase awal pertumbuhan. Pada tumbuhan tingkat tinggi, tanaman yang kekurangan P gejalanya dapat terlihat pada daun tua dimana warna daun menjadi keunguan, perakaran menjadi dangkal dan sempit penyebarannya, batang menjadi lemah.
Menurut Bold dan Wynne (1985)  fosfor merupakan salah satu unsur yang berperan dalam proses penyusunan karbohidrat dan senyawa kaya nitrogen. Gula terfosforilasi yang kaya energi muncul dalam proses fotosintesis. Fosforilasi adenosin menghasilkan adenosine monofosfat, difosfat, trifosfat (AMP, ADP dan ATP) dimana tanaman menyimpan energinya untuk kelangsungan proses kimia lainnya. Menurut Buckman dan Brady (1982), fosfor berpengaruh baik pada proses pembelahan sel dan pembentukan lemak pada organisme. Salah satu pupuk fosfor yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pupuk TSP (Gambar 5).
Gambar 5. Pupuk TSP
( Sumber : http ://www.jhbunn.co.uk, 1 Juni  2009)
Bentuk umum yang dapat dijumpai berupa butiran kecil kasar dengan warna kecoklatan, abu-abu, atau kekuningan dan bahan penyusunnya seperti tanah yang mengering (Havlin et al. 2005).
2.3.4  Komposisi Pupuk Untuk Perkembangbiakan Chlorella sp.
Adapun pupuk yang digunakan untuk skala massal berbeda dengan pupuk yang digunakan dalam skala laboratorium. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan faktor ekonomis. Adapun pupuk yang digunakan dalam skala massal dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Berbagai Kombinasi Pupuk Untuk Media Chlorella sp.
Konsentrasi (mg/l media) Pupuk
    A    B    C
Urea    80    40    12-15
ZA    40    80    -
TSP    15    15    -
FeCl3    2    1,5    -
EDTA    5    1,0    -
N:P:K (14:14:14)    -    -    30
Sumber : Jusadi (2003)
2.4  Bayam (Amaranthus sp.)
Bayam (Gambar 6) ini berasal dari Amerika tropik, namun sekarang tersebar ke seluruh dunia. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis bayam budidaya, yaitu Amaranthus tricolor dan Amaranthus hybridus. Jenis Amaranthus tricolor biasa ditanam sebagai bayam cabut dan terdiri dari dua varietas, yaitu bayam hijau (bayam putih, bayam sekul atau bayam Cina). Dan bayam merah karena tanamannya berwarna merah. Amaranthus hybridus sering disebut bayam kakap, bayam tahun, atau bayam bathok dan di tanam sebagai bayam petik. Di luar dari jenis bayam tersebut merupakan bayam liar.
Gambar 6. Bentuk Tanaman Bayam
Kandungan gizi yang baik bagi tubuh yang terkandung dalam bayam antara lain vitamin A, vitamin B, asam folat, besi dan magnesium. Salah satu zat gizi yang baik pada bayam yaitu glutathione, yang berfungsi sebagai pembentuk enzim-enzim dan membantu sistem kekebalan tubuh. Kandungan besi pada bayam relatif lebih tinggi daripada sayuran lain (unsur besi merupakan penyusun sitokrom dan protein yang terlibat dalam fotosintesis).
Daunnya berbentuk bulat telur dengan ujung agak meruncing mempunyai urat- urat daun yang jelas. Warna daun variasi, mulai dari hijau muda, hijau tua, hijau keputih- putihan, sampai berwarna merah. Daun bayam liar umumnya kasap ( kasar) dan kadang berduri.
Batang tumbuh tegak, tebal, berdaging dan banyak mengandung air, tumbuh tinggi di atas permukaan tanah. Bayam tahunan mempunyai batang keras berkayu dan bercabang banyak.
Bunga bayam berukuran kecil, berjumlah banyak, terdiri dari daun bunga 1-5, dan bakal buah 2-3 buah. Bunga keluar dari ujung-ujung tanaman ketiak daun yang tersusun seperti malai yang tumbuh tegak.
Perkembangbiakan tanaman bayam umumya generatif, biji berukuran sangat kecil dan halus, berbentuk bulat, dan berwarna coklat tua mengkilap seperti hitam kelam. Setiap tanaman dapat menghasilkan biji kira-kira 1200-3000 biji/gram.
2.4.1   Kandungan Senyawa Kimia Bayam
Bayam juga mengandung zat nitrit (NO2) . Kalau teroksidasi oleh udara, maka akan menjadi NO3 ( nitrat). Kandungan nutrisinya yang tinggi, bayam sering disebut sebagai ‘King of Vegetables’. Kandungan asam folat dan asam oksalat membuat bayam bisa dipakai untuk mengatasi berbagai macam masalah kesehatan. Misalnya menurunkan kadar kolesterol, mencegah sakit gusi, mengobati eksim, asma, untuk perawatan kulit muka, kulit kepala, rambut, mengobati rasa lesu, kurang darah, mencegah hilangnya penglihatan saat tua dan kanker.
Menurut Wishnok (1998), bayam segar yang baru dicabut dari persemaiannya telah mengandung senyawa nitrit kira-kira sebanyak 5 mg/kg. Bila bayam disimpan di lemari es selama 2 minggu, kadar nitrit akan meningkat sampai 300 mg/kg.  Berdasarkan data dari USDA Nutrient database, dalam 100 g bayam, mengandung komposisi senyawa organik, dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Senyawa Organik Dalam 100 g Bayam
Air    11000  mg
Protein    14000  mg
Lemak    7000  mg
Karbohidrat    65000  mg
Kalsium    90  mg
Abu    1400  mg
Fosfor    557  mg
Besi    7600  mg
Natrium    131  mg
Kalium    385  mg
Vitamin B1 (Thiamin)    0 ,08 mg
Vitamin B2 (Riboflavin)    0 ,15 mg
Vitamin B3 (Niacin)    0 ,9 mg
Vitamin B7 (Biotin)    1 ,5 mg
Vitamin B12 (Kobalamin)
Vitamin C    0 ,6 mg
0 ,8 mg
Vitamin E
Tembaga    1 ,89 mg
0 ,13 mg
Zinc    2 ,9 mg
Magnesium    248  mg
Mangan    3 ,4 mg
Nitrat    426  mg
Nitrit    72  mg
Sumber : USDA Nutrient database (2003)
2.4.2   Senyawa Fitokimia Pada Bayam
Golongan senyawa kimia dalam fitokimia mempunyai beberapa manfaat dan karakterisasi tersendiri. Dari berbagai tanaman, biasanya terdapat lebih dari satu golongan senyawa kimia, sehingga dari berbagai tanaman mempunyai manfaat masing-masing sebagai pengobatan baik secara tradisional maupun berdasarkan penelitian. Berikut adalah beberapa golongan kimia secara luas: a.  Alkaloid
Alkaloid adalah golongan senyawa yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan berbentuk siklik. Alkaloid sebagian besar berbentuk kristal padat dan sebagian kecil berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar, memutar bidang polarisasi dan terasa pahit dan biasanya tanpa warna (Harborne 1987). Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion. b. Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Flavonoid biasanya terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh. Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan (Hahlbrock 1981). c.  Saponin
Saponin merupakan glikosida triterpen yang sifatnya menyerupai sabun, merupakan senyawa aktif permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air dan pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan hemolisis pada sel darah merah. Saponin berperan sebagai bagian dari sistem pertahanan tanaman dan termasuk ke dalam kelompok besar molekul pelindung tanaman yang disebut phytoanticipans atau phytoprotectans. Saponin diketahui mempunyai efek sebagai anti mikroba, menghambat jamur dan melindungi tanaman dari serangan serangga.