Klasifikasi dan Morfologi
Nama Chlorella berasal dari zat bewarna
hijau (chlorophyll) yang juga berfungsi sebagai katalisator dalam proses
fotosintesis (Steenblock 2000). Chlorella sp. (Gambar 1) oleh Bold dan
Wynne (1985) dikategorikan ke dalam kelompok alga hijau yang memiliki
jumlah genera sekitar 450 dan jumlah spesies lebih dari 7500.
Nama
alga hijau diberikan karena kandungan zat hijau (chlorophyll) yang
dimilikinya sangat tinggi, bahkan melebihi jumlah yang dimiliki oleh
beberapa tumbuhan tingkat tinggi. Klasifikasi Chlorella sp. menurut Bold
dan Wynne (1985) adalah sebagai berikut:
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella sp.
Bentuk
umum sel-sel Chlorella adalah bulat atau elips (bulat telur), termasuk
fitoplankton bersel tunggal (unicellular) yang soliter, namun juga dapat
dijumpai hidup dalam koloni atau bergerombol. Diamater sel umumnya
berkisar antara 2-12 mikron, warna hijau karena pigmen yang mendominasi
adalah klorofil (Bold 1980). Chlorella sp. merupakan organisme
eukariotik (memiliki inti sel) dengan dinding sel yang tersusun dari
komponen selulosa dan pektin sedangkan protoplasmanya berbentuk cawan
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
2.1.2 Habitat dan Ekologi
Berdasarkan
habitat hidupnya Chlorella dapat dibedakan menjadi Chlorella air tawar
dan Chlorella air laut. Chlorella air tawar dapat hidup dengan kadar
salinitas hingga 5 ppt. Contoh Chlorella yang hidup di air laut adalah
Chlorella vulgaris, Chlorella pyrenoidosa, Chlorella virginica dan
lain-lain (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Umumnya Chlorella bersifat
planktonis yang melayang di dalam perairan, namun beberapa jenis
Chlorella juga ditemukan mampu bersimbiosis dengan hewan lain misalnya
Hydra dan beberapa Ciliata air tawar seperti Paramecium bursaria (
Dolan 1992).
2.1.3 Reproduksi
Reproduksi Chlorella adalah
aseksual dengan pembentukan autospora yang merupakan bentuk miniatur
dari sel induk. Tiap satu sel induk (parrent cell) akan membelah menjadi
4, 8, atau 16 autospora yang kelak akan menjadi sel-sel anak (daughter
cell) dan melepaskan diri dari induknya (Bold dan Wynne 1985).
Proses reproduksi Chlorella dapat dibagi menjadi 4 tahap (Kumar dan Singh 1979 ) yaitu:
Tahap
pertumbuhan, pada tahap ini sel Chlorella tumbuh membesar. Tahap
pemasakan awal saat terjadi peningkatan aktivitas sintesa yang merupakan
persiapan awal pembentukan autospora. Tahap pemasakan akhir, pada tahap
ini autospora terbentuk.
Tahap pelepasan autospora, dinding sel
induk akan pecah dan diikuti oleh pelepasan autospora yang akan tumbuh
menjadi sel induk muda.
2.2 Kultur Chlorella sp.
2.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangbiakan Chlorella sp.
Menurut
Bold dan Wynne (1985), perkembangbiakan Chlorella sp. dalam kultur
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: media, nutrien atau unsur
hara, cahaya, suhu, serta salinitas. Media merupakan tempat hidup bagi
kultur Chlorella yang pemilihannya ditentukan pada jenis Chlorella yang
akan dibudidayakan. Bahan dasar untuk preservasi media yang dapat
digunakan adalah agar-agar.
Nutrien terdiri atas unsur-unsur hara
makro (macronutrients) dan unsur hara mikro (micronutrients) . Contoh
unsur hara makro untuk perkembangbiakan Chlorella adalah senyawa
anorganik seperti N, K, Mg, S dan P. Unsur hara mikro adalah Fe, Cu, Zn,
Mn, B, dan Mo (Basmi 1995). Unsur hara tersebut diperoleh dalam bentuk
persenyawaan dengan unsur lain (Bold 1980). Tiap unsur hara memiliki
fungsi-fungsi khusus (Tabel 1) yang tercermin pada perkembangbiakan dan
kepadatan yang dicapai oleh organisme Chlorella yang dikultur tanpa
mengesampingkan pengaruh dari lingkungan.
Kebutuhan nutrien untuk
tujuan kultur fitoplankton harus tetap terpenuhi melalui penambahan
media pemupukan guna menunjang perkembangbiakan fitoplankton. Unsur N,
P, dan S penting untuk sintesa protein. Unsur K berfungsi dalam
metabolisme karbohidrat. Unsur Cl dimanfaatkan untuk aktivitas
kloroplas, unsur Fe dan unsur Na berperan dalam pembentukan klorofil
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995; Oh hama dan Miyachi 1988).
Beberapa
faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton di
kultur terbuka antara lain: cahaya, suhu, tekanan osmosis, pH air,
kandungan O2 dan aerasi (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Cahaya
merupakan sumber energi untuk melakukan fotosintesis. Cahaya matahari
yang diperlukan oleh fitoplankton dapat digantikan dengan lampu TL atau
tungsten. Oh hama dan Miyachi (1988) menyatakan bahwa intensitas cahaya
saturasi untuk Chlorella berada pada intensitas 4000 lux. Hal ini
menunjukkan bahwa setelah titik intensitas tersebut dicapai, maka
fotosintesis tidak lagi meningkat sehubungan dengan peningkatan porsi
intensitas cahaya (Basmi 1995).
Tabel 1. Fungsi Fisiologis Umum Unsur Makro dan Mikro
Karbon Unsur pokok bahan sel organik.
Nitrogen Unsur pokok protein, asam nukleat dan koenzim.
Belerang
Unsur pokok protein (seperti: asam amino sistein dan metionin), Unsur
pokok beberapa koenzim (koenzim-A, karboksilase).
Fosfor Unsur pokok asam nukleat, fosfolipid, koenzim.
Kalium Berfungsi dalam proses fotosintesis, pengangkutan hasil asimilasi, enzim dan mineral termasuk air.
Magnesium
Kation penting untuk sel, kofaktor anorganik untuk berbagai reaksi
enzimatik termasuk melibatkan ATP, berfungsi dalam pengikatan enzim pada
substrat dan unsur pokok klorofil.
Mangan Kofaktor anorganik untuk beberapa enzim, kadang-kadang menggantikan Mg.
Kalsium Kation penting untuk sel, kofaktor untuk beberapa enzim ( misalnya proteinase ).
Besi Unsur pokok sitokrom dari protein heme dan non heme yang lain, kofaktor untuk sejumlah enzim.
Kobalt Unsur pokok vitamin B12 dan turunan koenzim.
Tembaga Metabolisme protein dan karbohidrat serta berperan terhadap fiksasi N
Molibdenum Unsur pokok anorganik enzim-enzim yang khusus.
Seng Unsur pokok anorganik enzim-enzim yang khusus.
Sumber : Stainer et al. (1982)
Kisaran
suhu optimal bagi perkembangbiakan Chlorella adalah antara 25-300C
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Taw (1990) untuk kultur
Chlorella diperlukan suhu antara 25-350C. Penelitian lain menunjukkan
bahwa untuk jenis Chlorella vulgaris dapat beradaptasi pada media kultur
dengan suhu serendah 50C (Maxwell et al. 1994). Suhu mempengaruhi
proses-proses fisika, kimia, biologi yang berlangsung dalam sel
fitoplankton. Peningkatan suhu hingga batas tertentu akan merangsang
aktifitas molekul, meningkatnya laju difusi dan juga laju fotosintesis
(Sachlan 1982). Suhu di bawah 160C dapat menyebabkan kecepatan
perkembangbiakan Chlorella sp. turun, sedangkan suhu diatas 360C dapat
menyebabkan kematian (Taw 1990).
Nilai pH media kultur merupakan
faktor pengontrol yang menentukan kemampuan biologis fitoplankton dalam
memanfaatkan unsur hara. Nilai pH yang terlalu tinggi misalnya, akan
mengurangi aktifitas fotosintesis fitoplankton (De La Noue dan De Pauw
1988). Nielsen (1955) menyatakan bahwa pH yang sesuai untuk
perkembangbiakan Chlorella berkisar antara 4,5-9,3 dan kisaran optimum
untuk Chlorella laut berkisar antara 7,8-8 ,5. Secara umum kisaran pH
yang optimum untuk kultur Chlorella adalah antara 7-9.
Karbondioksida
(CO2) diperlukan oleh fitoplankton untuk membantu proses fotosintesis.
Karbondioksida dengan kadar 1-2% biasanya sudah cukup digunakan dalam
kultur fitoplankton dengan intensitas cahaya yang rendah. Kadar CO2 yang
berlebih dapat menyebabkan pH kurang dari batas optimum sehingga akan
berpengaruh terhadap perkembangbiakan fitoplankton (Taw 1990).
Aerasi
dalam kultur fitoplankton digunakan dalam proses pengadukan media
kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah
terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga
fitoplankton dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah
sratifikasi suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media
(Taw 1990).
2.2.2 Fase Perkembangbiakan Chlorella sp.
Perkembangbiakan
fitoplankton dalam media kultur dapat diamati dengan melihat
pertambahan besar ukuran sel fitoplankton atau dengan mengamati
pertambahan jumlah sel dalam satuan tertentu. Cara kedua lebih sering
digunakan untuk mengetahui perkembangbiakan fitoplankton dalam media
kultur, yaitu dengan menghitung kelimpahan atau kepadatan sel
fitoplankton dari waktu ke waktu. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995) ada dua cara penghitungan kepadatan fitoplankton yaitu
menggunakan sedgwich rafter dan menggunakan haemocytometer. Penggunaan
haemocytometer untuk menghitung kepadatan sel fitoplankton lebih sering
digunakan dibandingkan sedgwich rafter karena faktor kemudahannya.
Selama pertumbuhannya fitoplankton dapat mengalami beberapa fase
pertumbuhan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995), yaitu :
a. Fase Lag (Fase Istirahat)
Dimulai
setelah penambahan inokulum ke dalam media kultur hingga beberapa saat
sesudahnya. Pada fase ini peningkatan paling signifikan terlihat pada
ukuran sel karena secara fisiologis fitoplankton menjadi sangat aktif.
Proses sintesis protein baru juga terjadi dalam fase ini. Metabolisme
berjalan tetapi pembelahan sel belum terjadi sehingga kepadatan sel
belum meningkat karena fitoplankton masih beradaptasi dengan lingkungan
barunya. b. Fase Logaritmik (Fase Eksponensial)
Fase ini dimulai
dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang meningkat secara
intensif. Bila kondisi kultur optimum maka laju pertumbuhan pada fase
ini dapat mencapai nilai maksimal dan pola laju pertumbuhan dapat
digambarkan dengan kurva logaritmik. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995), Chlorella sp. dapat mencapai fase ini dalam waktu 5-7 hari. c.
Fase Penurunan Laju Pertumbuhan
Pembelahan sel tetap terjadi pada
fase ini, namun tidak seintensif fase sebelumnya, sehingga laju
pertumbuhan juga mengalami penurunan dibandingkan fase sebelumnya.
d. Fase Stasioner
Pada
fase ini laju reproduksi dan laju kematian relatif sama. Penambahan dan
pengurangan jumlah fitoplankton seimbang sehingga kepadatannya relatif
tetap ( stasioner ).
e. Fase Kematian
Fase ini ditandai dengan
laju kematian yang lebih besar daripada laju reproduksi sehingga jumlah
sel mengalami penurunan secara geometrik. Penurunan kepadatan sel
fitoplankton ditandai dengan perubahan kondisi optimum yang dipengaruhi
oleh suhu, cahaya, pH media, ketersediaan hara, dan beberapa faktor lain
yang saling terkait satu sama lain.
Secara skematis pola perkembangbiakan dari fitoplankton, khususnya Chlorella sp. dapat dilihat pada Gambar 2.
2.3 Pupuk
Pemupukan
biasanya yang digunakan dalam kultur Chlorella sp. yakni pupuk urea,
pupuk ZA dan pupuk TSP sebagai unsur hara makro dan unsur mikro bagi
perkembangbiakan Chlorella sp.
Pengertian pupuk secara umum adalah
suatu bahan yang bersifat organik ataupun anorganik, bila ditambahkan
kedalam tanah atau tanaman, dapat memperbaiki sifat fisik, kimia,
biologi tanah dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Nitrogen
merupakan unsur penting bagi pertumbuhan tanaman terutama pada fase
vegetatif. Saat fase ini terjadi tiga proses penting yaitu pembelahan
sel, pemanjangan sel dan tahap diferensiasi sel (Hladka 1971). Shelf dan
Soeder (1980) menyatakan bahwa nitrogen merupakan bagian penting dari
protein, protoplasma, klorofil, dan asam nukleat. Vegetasi tingkat
rendah maupun tinggi menyerap N dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat
(NO3-).
Organisme berklorofil yang kekurangan nitrogen akan berubah
warna selnya menjadi kekuningan karena adanya penghambatan sÃntesis
klorofil. Pemupukan nitrogen yang berlebihan akan mengakibatkan
pertumbuhan vegetatif yang berlebihan. Kekurangan N juga akan membatasi
pertumbuhan karena tidak ada pembentukan protoplasma baru. Salah satu
cara untuk memenuhi kebutuhan N tanaman (mengatur nisbah C/N) dengan
memberikan pupuk N ke tanah.
Chlorella sp. tidak dapat membedakan dan
tidak bisa memilih unsur hara yang diserap berasal dari pupuk organik
atau pupuk kimia. Chlorella sp. menyerap unsur hara (N, P, K, dan
sebagainya) melalui mekanisme pertukaran ion, dan dalam bentuk ion-ion
anorganik. Agar dapat diserap oleh Chlorella sp., pupuk organik harus
melalui serangkaian proses perombakan oleh mikroba dalam tanah menjadi
ion-ion anorganik/kimia. Jadi yang diserap Chlorella sp. pada akhirnya
tetap saja berupa ion-ion anorganik / kimia (Hardjowigeno 2007).
2.3.1 Pupuk Urea
Pupuk
urea (Gambar 3) yang dikenal dengan nama rumus kimianya NH2CONH2
pertama kali dibuat secara sintetis oleh Wohler (1928) dengan
mereaksikan garam cianat dengan ammonium hidroksida.
Pupuk urea yang
dibuat merupakan reaksi antara karbon dioksida (CO2) dan ammonia (NH3).
Kedua senyawa ini berasal dari bahan gas bumi, air dan udara. Ketiga
bahan baku tersebut merupakan kekayaan alam yang terdapat di Sumatera
Selatan (Hardjowigeno 2007).
Untuk mendapatkan konsentrasi urea yang lebih tinggi maka dilakukan pemekatan dengan cara:
Penguapan
larutan urea di bawah vacuum (ruang hampa udara, tekanan 0,1 atmosfir
mutlak), sehingga larutan menjadi jenuh dan mengkristal.
Memisahkan kristal dari cairan induknya dengan centrifuge.
Penyaringan kristal dengan udara panas.
(Sumber : http://www.canadianagri.ca, 10 Februari 2013)
2.3.2 Pupuk ZA (Zwavelzuur Amonia)
Pupuk
ZA (Gambar 4) mendapatkan nama panjangnya, Zwavelzuur Amonia dari
bahasa Belanda. Nama kimia ZA adalah amonium sulfat dengan rumus kimia
(NH4)2SO4. Senyawa garam anorganik ini memiliki memiliki kandungan
nitrogen sekitar 20% dan sulfur sekitar 24% sehingga tujuan produksinya
adalah sebagai pupuk pertanian (George dan Sussot 1971).
Gambar 4. Pupuk ZA
(Sumber : http://www.trivenichemical.com, 10 Februari 2013)
Bentuk
pupuk ZA yang dapat dijumpai di pasaran adalah seperti bubuk kasar atau
bongkahan-bongkahan kecil bewarna putih seperti gula pasir dan mudah
larut dalam air. Penggunaan pupuk ZA dalam bidang pertanian yang
berlebihan dapat menyebabkan turunnya pH tanah.
2.3.3 Pupuk TSP (Triple Super Phospate)
Fosfor
(P) merupakan salah satu unsur makro primer yang dibutuhkan oleh
tanaman (Tisdale dan Nelson 1975). Kekurangan unsur P dapat diamati dari
adanya gejala tertundanya pematangan sel. Bold and Wynne (1985)
menyatakan gejala kekurangan P juga biasanya tampak pada fase awal
pertumbuhan. Pada tumbuhan tingkat tinggi, tanaman yang kekurangan P
gejalanya dapat terlihat pada daun tua dimana warna daun menjadi
keunguan, perakaran menjadi dangkal dan sempit penyebarannya, batang
menjadi lemah.
Menurut Bold dan Wynne (1985) fosfor merupakan salah
satu unsur yang berperan dalam proses penyusunan karbohidrat dan senyawa
kaya nitrogen. Gula terfosforilasi yang kaya energi muncul dalam proses
fotosintesis. Fosforilasi adenosin menghasilkan adenosine monofosfat,
difosfat, trifosfat (AMP, ADP dan ATP) dimana tanaman menyimpan
energinya untuk kelangsungan proses kimia lainnya. Menurut Buckman dan
Brady (1982), fosfor berpengaruh baik pada proses pembelahan sel dan
pembentukan lemak pada organisme. Salah satu pupuk fosfor yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Pupuk TSP (Gambar 5).
Gambar 5. Pupuk TSP
( Sumber : http ://www.jhbunn.co.uk, 1 Juni 2009)
Bentuk
umum yang dapat dijumpai berupa butiran kecil kasar dengan warna
kecoklatan, abu-abu, atau kekuningan dan bahan penyusunnya seperti tanah
yang mengering (Havlin et al. 2005).
2.3.4 Komposisi Pupuk Untuk Perkembangbiakan Chlorella sp.
Adapun
pupuk yang digunakan untuk skala massal berbeda dengan pupuk yang
digunakan dalam skala laboratorium. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan faktor ekonomis. Adapun pupuk yang digunakan dalam skala
massal dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Berbagai Kombinasi Pupuk Untuk Media Chlorella sp.
Konsentrasi (mg/l media) Pupuk
A B C
Urea 80 40 12-15
ZA 40 80 -
TSP 15 15 -
FeCl3 2 1,5 -
EDTA 5 1,0 -
N:P:K (14:14:14) - - 30
Sumber : Jusadi (2003)
2.4 Bayam (Amaranthus sp.)
Bayam
(Gambar 6) ini berasal dari Amerika tropik, namun sekarang tersebar ke
seluruh dunia. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis bayam budidaya,
yaitu Amaranthus tricolor dan Amaranthus hybridus. Jenis Amaranthus
tricolor biasa ditanam sebagai bayam cabut dan terdiri dari dua
varietas, yaitu bayam hijau (bayam putih, bayam sekul atau bayam Cina).
Dan bayam merah karena tanamannya berwarna merah. Amaranthus hybridus
sering disebut bayam kakap, bayam tahun, atau bayam bathok dan di tanam
sebagai bayam petik. Di luar dari jenis bayam tersebut merupakan bayam
liar.
Gambar 6. Bentuk Tanaman Bayam
Kandungan gizi yang baik bagi
tubuh yang terkandung dalam bayam antara lain vitamin A, vitamin B,
asam folat, besi dan magnesium. Salah satu zat gizi yang baik pada bayam
yaitu glutathione, yang berfungsi sebagai pembentuk enzim-enzim dan
membantu sistem kekebalan tubuh. Kandungan besi pada bayam relatif lebih
tinggi daripada sayuran lain (unsur besi merupakan penyusun sitokrom
dan protein yang terlibat dalam fotosintesis).
Daunnya berbentuk
bulat telur dengan ujung agak meruncing mempunyai urat- urat daun yang
jelas. Warna daun variasi, mulai dari hijau muda, hijau tua, hijau
keputih- putihan, sampai berwarna merah. Daun bayam liar umumnya kasap (
kasar) dan kadang berduri.
Batang tumbuh tegak, tebal, berdaging dan
banyak mengandung air, tumbuh tinggi di atas permukaan tanah. Bayam
tahunan mempunyai batang keras berkayu dan bercabang banyak.
Bunga
bayam berukuran kecil, berjumlah banyak, terdiri dari daun bunga 1-5,
dan bakal buah 2-3 buah. Bunga keluar dari ujung-ujung tanaman ketiak
daun yang tersusun seperti malai yang tumbuh tegak.
Perkembangbiakan
tanaman bayam umumya generatif, biji berukuran sangat kecil dan halus,
berbentuk bulat, dan berwarna coklat tua mengkilap seperti hitam kelam.
Setiap tanaman dapat menghasilkan biji kira-kira 1200-3000 biji/gram.
2.4.1 Kandungan Senyawa Kimia Bayam
Bayam
juga mengandung zat nitrit (NO2) . Kalau teroksidasi oleh udara, maka
akan menjadi NO3 ( nitrat). Kandungan nutrisinya yang tinggi, bayam
sering disebut sebagai ‘King of Vegetables’. Kandungan asam folat dan
asam oksalat membuat bayam bisa dipakai untuk mengatasi berbagai macam
masalah kesehatan. Misalnya menurunkan kadar kolesterol, mencegah sakit
gusi, mengobati eksim, asma, untuk perawatan kulit muka, kulit kepala,
rambut, mengobati rasa lesu, kurang darah, mencegah hilangnya
penglihatan saat tua dan kanker.
Menurut Wishnok (1998), bayam segar
yang baru dicabut dari persemaiannya telah mengandung senyawa nitrit
kira-kira sebanyak 5 mg/kg. Bila bayam disimpan di lemari es selama 2
minggu, kadar nitrit akan meningkat sampai 300 mg/kg. Berdasarkan data
dari USDA Nutrient database, dalam 100 g bayam, mengandung komposisi
senyawa organik, dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Senyawa Organik Dalam 100 g Bayam
Air 11000 mg
Protein 14000 mg
Lemak 7000 mg
Karbohidrat 65000 mg
Kalsium 90 mg
Abu 1400 mg
Fosfor 557 mg
Besi 7600 mg
Natrium 131 mg
Kalium 385 mg
Vitamin B1 (Thiamin) 0 ,08 mg
Vitamin B2 (Riboflavin) 0 ,15 mg
Vitamin B3 (Niacin) 0 ,9 mg
Vitamin B7 (Biotin) 1 ,5 mg
Vitamin B12 (Kobalamin)
Vitamin C 0 ,6 mg
0 ,8 mg
Vitamin E
Tembaga 1 ,89 mg
0 ,13 mg
Zinc 2 ,9 mg
Magnesium 248 mg
Mangan 3 ,4 mg
Nitrat 426 mg
Nitrit 72 mg
Sumber : USDA Nutrient database (2003)
2.4.2 Senyawa Fitokimia Pada Bayam
Golongan
senyawa kimia dalam fitokimia mempunyai beberapa manfaat dan
karakterisasi tersendiri. Dari berbagai tanaman, biasanya terdapat lebih
dari satu golongan senyawa kimia, sehingga dari berbagai tanaman
mempunyai manfaat masing-masing sebagai pengobatan baik secara
tradisional maupun berdasarkan penelitian. Berikut adalah beberapa
golongan kimia secara luas: a. Alkaloid
Alkaloid adalah golongan
senyawa yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen
biasanya dalam gabungan berbentuk siklik. Alkaloid sebagian besar
berbentuk kristal padat dan sebagian kecil berupa cairan (misalnya
nikotin) pada suhu kamar, memutar bidang polarisasi dan terasa pahit dan
biasanya tanpa warna (Harborne 1987). Fungsi alkaloid sendiri dalam
tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah
mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan
dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau sebagai basa
mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion. b. Flavonoid
Flavonoid
terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida dan aglikon flavonoid.
Flavonoid biasanya terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh. Flavonoid
merupakan senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya
tersebar di dunia tumbuhan (Hahlbrock 1981). c. Saponin
Saponin
merupakan glikosida triterpen yang sifatnya menyerupai sabun, merupakan
senyawa aktif permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan
air dan pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan hemolisis pada sel
darah merah. Saponin berperan sebagai bagian dari sistem pertahanan
tanaman dan termasuk ke dalam kelompok besar molekul pelindung tanaman
yang disebut phytoanticipans atau phytoprotectans. Saponin diketahui
mempunyai efek sebagai anti mikroba, menghambat jamur dan melindungi
tanaman dari serangan serangga.