Minggu, 05 Oktober 2014

KERUSAKAN TERUMBU KARANG AKIBAT PENANGKAPAN YANG ILEGAL (ILEGAL FISHING)

Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan juga memiliki lebih dari 17.504 pulau. Keadaan tersebut menjadikan Indonesia termasuk kedalam Negara yang memiliki kekayaan sumberdaya perairan yang tinggi dengan sumberdaya hayati perairan yang sangat beranekaragam. Keanekaragaman sumberdaya perairan Indonesia meliputi sumberdaya ikan maupun sumberdaya terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki Indonesia luasnya sekitar 7000 km2 dan memiliki lebih dari 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan. Luasnya daerah karang yang ada menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki kenekaragaman ikan yang tinggi khususnya ikan-ikan karang yaitu lebih dari1.650 jenis spesie ikan (Burke et al, 2002 dalam Zainarlan, 2007).
Kekayaan sumberdayahayati perairan Indonesia yang tinggi akan sangat bermanfaat jika dilakukan pemanfaatan secara optimal dan bertanggung jawab. Pemanfaatan sumberdayahati perairan ini dapat dilakukan melalui proses penangkapan yang bertanggung jawab. Penangkapan ikan yang dilakukan adalah proses pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bersifat ekonomis dari perairan secara bertanggung jawab. Dalam melakukan proses penangkapan, nelayan harus mengikuti peraturan yang berlaku. Salah satu peraturan yang mengatur mengenai kegiatan penangkapan adalah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yaitu prinsip-prinsip tatalaksana perikanan yang bertanggungjawab. Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek penangkapan yang bertanggung jawab dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian.
Proses pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia khususnya untuk ikan-ikan karang saat ini banyak yang tidak sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya kebutuhan dan permintaan pasar untuk ikan-ikan karang serta persaingan yang semakin meningkat. Keadaan tersebut menyebabkan nelayan melakukan kegiatan eksploitasi terhadap ikan-ikan karang secara besar-besaran dengan menggunakan berbagai cara yang tidak sesuai dengan kode etik perikanan yang bertanggung jawab. cara yang umumnya digunakan oleh nelayan adalah melakukan illegal fishing yang meliputi pemboman, pembiusan, dan penggunaan alat tangkap trawl. Semua cara yang dilakukan oleh nelayan ini semata-mata hanya menguntungkan untuk nelayan dan
Terumbu Karang dan Fungsinya
Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22oC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Scnedaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur, dan organisme lain yang mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).
Arah perkembangan terumbu organik dikontrol oleh keseimbangan ketiga faktor yaitu hidrologis, batimetris, dan biologis. Jika ketiga faktor
seimbang, terumbu berkembang secara radial dan akan terbentuk terumbu paparan dan apabila pertumbuhan ini berlanjut akan terbentuk terumbu pelataran bergoba. Namun jika perkembangan radial dibatasi oleh kondisi batimetri akan terbentuk terumbu paparan lonjong. Terumbu yang terakhir ini tidak membentuk lagun yang benar dan depresi menyudut merupakan penyebaran pasir. Sedangkan terumbu paparan dinding terbentuk pada kondisi batimetris dan hidrologis tidak simetris, di mana perkembangan terumbu terbatas pada satu atau dua arah. Kondisi ini akan menghasilkan perkembangan terumbu secara linier, dan membentuk terumbu dinding berupa terumbu dinding tanduk dan terumbu dinding garpu. Terbentuknya terumbu dinding garpu ini menunjukkan adanya arus pasang surut yang kuat. (Zuidam, 1985).
Terumbu karang dapat berkembang dan membentuk suatu pulau kecil. Dari lima jenis pulau yaitu Pulau Benua (Continental Islands), Pulau Vulkanik (Volcanic Islands), Pulau Daratan Rendah (Low Islands) , Pulau Karang Timbul (Raised Coral Islands), dan Pulau Atol (Atolls), dua yang terakhir terbentuk dari terumbu karang. Di sisi lain, dari sepuluh jenis bentuklahan (Zuidam, 1985, dan F-G UGM & Bakosurtanal, 2000), terumbu karang adalah salah satunya. Bentuklahan (landforms) ini adalah bentuklahan organik yaitu berupa binatang. Bentuk lain yang berhubungan dengan terumbu karang adalah bentuklahan karst, yaitu terbentuk melalui proses karstifikasi pada batuan kalsium karbonat. Namun bentuklahan karst ini terbentuk secara alami melalui proses eksogenik dan endogenik dan berlangsung pada skala besar (Thornbury, 1954). Sedangkan terumbu karang terbentuk secara organik dan relatif perlahan sehingga lebih dimungkinkan adanya campur tangan manusia dalam pertumbuhannya. Hasil identifikasi bentuklahan mencerminkan karakteristik fisik lahan dan untuk mendapatkannya dengan melalui analisis geomorfologis. Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan dan proses-proses yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangan (Zuidam, 1985).
Trumbu karang mempunyai fungsi yang amat penting bagi kehidupan laut. Fungsi-fungsi
tersebut diantaranya:
“ Sebagai Spawning Ground dan Nursery Ground. Secara alami, terumbu karang merupakan habitat bagi banyak spesies laut untuk melakukan pemijahan, peneluran, pembesaran anak, makan dan mencari makan (feeding & foraging), terutama bagi sejumlah spesies yang memiliki nilai ekonomis penting. Sebagai pelindung sempadan pantai, dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan hutan mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang besar”.
2.2 Kegiatan dan Dampak dari Illegal Fishing
Illegal fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab Illegal fishing termasuk kegiatan mall praktek dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang merupakan kegiatan pelanggaran hukum. Kegiatan illegal fishing umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik baik ekosistem perairan akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Dalam kegiatan panangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang bersifat merusak yang dilakukan oleh nelayan khususnya nelayan traditional. Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan-ikan karang yang banyak digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut dampak berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang karang.
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak merupakan cara yang sering digunakan oleh nelayan traditional didalam memanfaatkan sumberdaya perikanan khususnya didalam melakukan penangkapan ikan-ikan karang. Penangkapan ikan-ikan karang dengan menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat yang kurang baik baik bagi ikan-ikan yang akan ditangkap maupun untuk karang yang terdapat pada lokasi penangkapan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Penggunaan bahan peledak di daerah terumbu karang akan menghancurkan struktur terumbu karang dan dapat meninggalkan gunungan serpihan karang hingga beberapa meter lebarnya (Hamid, 2007). Selain memberi dampak yang buruk untuk karang, kegiatan penangkapan dengan menggunkan bahan peledak juga berakibat buruk untuk ikan-ikan yang ada. Ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan bahan meledak umumnya tidak memiliki kesegaran yang sama dengan ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.
Walaupun demikian adanya, nelayan masih tetap menggunakan bahan peledak didalam melakukan kegiatan penangkapan karena hasil yang mereka peroleh cendrung lebih besar dan cara yang dilakukan untuk melakukan proses penangkapan tergolong mudah.
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan beracun
Selain penggunaan bahan peledak didalam penangkapan ikan diderah karang, kegiatan yang marak dilakukan oleh nelayan adalah dengan menggunakan obat bius atau bahan beracun lainnya. Bahan beracun yang umum dipergunakan dalam penangkapan ikan dengan pembiusan seperti sodium atau potassium sianida. Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap ikan hias dan hidup memicu nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan yang merusak dengan menggunakan racun sianida. Kegiatan ini umum dilakukan oleh nelayan untuk memperoleh ikan hidup.
Hasil yang diperoleh dengan cara ini memang merupakan ikan yang masih hidup kan tetapi penggunaannya pada daerah karang memberikan dampak yang sangat besar bagi terumbu karang. Selain itu penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang tertentu. Racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi mabuk dan mati. Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama kelamaan karang menjadi mati. Indikatornya adalah karang mati
Kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl
Kegiatan lain yang termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang. Kegiatan ini merupakan
kegiatan penangkapan yang bersifat merusak dan tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang dapat dilihat pada kasus yang terjadi di perairan Bagan Siapi-Api Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, penggunaan alat tangkap ini sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena alat tangkap tersebut termasuk kedalam alat tangkap yang sangat tidak ramah lingkungan karena memiliki selektifitas alat tangkap yang sangat buruk. Nelayan di sulawesi Utara cendrung tidak memperdulikan hukum yang ada. Mereka tetap melakukan proses penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl. Alat yang
umumnya digunakan oleh nelayan berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut.
Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. Akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerus
menyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan ikan-ikan kecil yang belum memijah tertangkap oleh alat ini sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memijah dan memperbanyak spesiesnya. Selain hal tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan alat tangkap ini pada daerah karang adalah rusaknya terumbu karang akibat tersangkut ataupun terbawa jarring. Jarring yang tersangkut akann menjadi patah dan akhirnya menghambat pertumbuhan dari karang itu sendiri. Apabila hal ini terus berlanjut maka ekosistem karang akan mengalami kerusakan secara besar-besaran dan berakibat pada punahnya ikan-ikann yang berhabitat pada daerah karang tersebut.
Beberapa Contoh Kerusakan Terumbu Karang di Indonesia
Kerusakan karang akibat penggunaan bahan beracun khususnya dengan menggunakan sianida dapat dilihat dari kasus pulau Panambungan di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan pada tahun 2007 di ketahui bahwa di pulau Panambungan secara umum terumbu karangnya berada dalam kondisi rusak. Kerusakan ini diakibatkan oleh penggunaan bahan beracun pada saat melakukan kegiatan penangkapan. Keadaan ini diperkuat lagi karena sebagian wilayah pulau ini tidak berpenghuni sehingga tidak adanya pengawasan dan memberikan ruang gerak kepada nelayan untuk melakukan penangkapan illegal fishing secara leluasa.
    Informasi dari instansi terkait di beberapa daerah pesisir utara jawa menyebutkan. Kabupaten Batang, kawasan terumbu karang Kretek. Berdasarkan hasil survei, persentase tutupan karang keras yang masih hidup hanya sebesar 6%. Karang yang dijumpai pada transek hanya satu jenis, yaitu Porites lobata, dengan bentuk pertumbuhan massive (batu bulat besar) dan submassive Suara Merdeka, 2008).
    Kondisi terumbu karang di P. Panjang Kabupaten Jepara, termasuk dalam kondisi rusak. Hasil ini menunjukkan penurunan dari penelitian yang dilakukan oleh Haryono (2001) dan Lutfi (2003). Penelitian yang dilakukan oleh Haryono pada tahun 2001 menunjukkan kondisi terumbu karang di P. Panjang dalam keadaan baik dengan persentase penutupan karang sebesar 49,46%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lutfi (2003) menunjukkan penurunan dengan penutupan karang hidup yang hanya sebesar 19,08 %. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di Pulau Panjang mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
        Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Biota Laut Ambon dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Augy Syahailatua, mengatakan saat ini tinggal 10 persen terumbu karang di wilayah perairan Maluku yang masih bagus. Sedangkan sisanya rusak.
    Sekitar 50 persen terumbu karang di Provinsi Bangka Belitung (Babel) rusak akibat sedimentasi lumpur yang berasal dari aktivitas penambangan timah di perairan provinsi kepulauan berpenduduk 1,2 juta jiwa tersebut. Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang, Universitas Bangka Belitung (UBB), Indra Ambalika di Pangkalpinang, menjelaskan kerusakan terjadi akibat terumbu karang tertutup lumpur terkait kegiatan kapal isap dan tambang inkonvensional (TI) apung yang terus menyedot timah di wilayah perairan.
Solusi Yang Telah Diajukan Dalam Jangka Panjang Yaitu COREMAP
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.
Pentahapan
COREMAP pada awalnya direncanakan untuk 15 tahun, yang terdiri dari tiga tahap, yang berturut-turut mempunyai tujuan sebagai berikut:
Tahap I, Tahap Inisiasi (1998 – 2001): untuk menetapkan landasan kerangka kerja sistem nasional terumbu karang;
Tahap II, Tahap Akselerasi (2001 – 2007): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal di daerah-daerah prioritas;
Tahap III, Tahap Pelembagaan (2007 – 2013): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, dengan pelaksanaan terdesentralisasi, dan telah melembaga.
Setelah COREMAP dimulai kemudian terjadi perubahan besar dalam tata pemerintahan di Indonesia, dimana pemenrintahan yang sebelumnya mempunyai kewenangan yang sangat sentralistik menjadi terdesentralisasi. Sebagai akibatnya, implementasi program juga harus disesuaikan, dengan perubahan pentahapan sebagai berikut:
- Tahap  I, Tahap Inisiasi (1998 – 2004);
- Tahap II , Tahap Desentralisasi dan Akselerasi (2004 – 2009)
- Tahap III, Tahap Pelembagaan (2010 – 2015).
Tujuan dan Kegunaan
Agar pengelolaan sumberdaya dapat terlaksana dengan baik, maka dibutuhkan sebuah rencana pengelolaan yang merupakan perwujudan dari rencana Pemerintah Desa dan masyarakat yang sejalan dengan strategi Pembangunan Daerah. Pembuatan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang sebagai salah satu kegiatan pada program COREMAP II bertujuan untuk;
1.Memberikan arahan yang jelas dalam pengelolaan sumberdaya desa, agar sasaran pengelolaan dapat dicapai sesuai dengan yang diinginkan.
2.Mendukung program Pemerintah Desa dan Daerah dalam meletakkan dasar pembangunan
3.Menumbuh kembangkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya terumbukarang serta sumberdaya lainnya secara mandiri dan berkelanjutan.
Kegunaan dari kegiatan pembentukan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang ini adalah;
1.Menjadi acuan pelaksanaan pembangunan desa khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan
2.Sebagai dasar dalam upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pada masyarakat desa disamping peningkatan kelembagaan ditingkat desa, baik yang telah lama terbentuk maupun lembaga yang baru dibentuk
3.Sebagai pendukung dalam upaya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa khususnya
Visi Program
Apa yang diharapkan setelah program ini berakhir:
-        Kekayaan terumbu karang dan ekosistem terkait dapat dilestarikan;
-        Masyarakatpesisir mencapai keseimbangan antara lingkungan hidup dan kesejahteraan mereka;
-        Masyarakat pesisir telah berdaya untuk melindungi sendiri lingkungan mereka;
-        Masyarakat pesisir tidak lagi terasing dari pembangunan;
-        Kesadaran dan perilaku masyarakat semakin baik terhadap terumbu karang;
-        Orang luar dapat menghargai apa yang telah dilakukan masyarakat untuk melindungi terumbu karang;
-        Terciptanya pendekatan kerjasama dan partisipasi antara masyarakat, LSM, dan Pemerintah, untuk mencapai tujuan bersama;
-        Perilaku destruktif (seperti pemboman) telah merupakan masa lalu;
-        Nelayan telah dapat memanen ikan tak jauh dari pantai, tak perlu lagi berlayar jauh untuk itu;
-        Anak-anak dapat bermain di pantai yang indah.
2.5 Pencapaian COREMAP II Sekarang
Tahun 2011 ini merupakan tahun terakhir implementasi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II (COREMAP II) di Indonesia. Coremap tahap II merupakan fase Akselerasi untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal di daerah-daerah prioritas, yang merupakan kelanjutan dari COREMAP tahap I (Inisiasi). Pasca COREMAP II, bagian akhir tahapan program COREMAP adalah COREMAP III (Institusionalisasi), yang bertujuan untuk menetapkan system pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, secara desentralisasi dan melembaga.
Tahun terakhir COREMAP tahap II ini merupakan tahun yang kritis, diharapkan tidak terjadi penundaan yang mengakibatkan tidak terlaksananya kegiatan, sehingga tujuan yang telah digagas COREMAP II dapat terpenuhi melalui beberapa rangkaian aktivitas telah direncanakan, tentunya dengan pengalokasian anggaran yang juga harus cermat. Sebagai penutup rangkaian perjalanan 8 (delapan) tahun program COREMAP II, hasil-hasil capaian program ini akan dikompilasi. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dan mata pencaharian alternatif yang langsung masyarakat desa ditingkatkan, penguatan kapasitas, percontohan di lokasi program, penguatan pengelolaan kawasan konservasi perairan serta target-target yang belum tercapai lebih difokuskan penggarapannya. Seluruh kegiatan diharapkan dapat tercapai pada Oktober 2011, karena pada awal November tahun ini direncanakan akan menggelar penutupan COREMAP II sebagai sebuah puncak pencapaian. Ringkasnya, pada tahun ini paling tidak ada tiga hal yang dilakukan, yang pertama: mengejar target yang belum tercapai, kedua: mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan program secara keseluruhan dan ketiga: menyiapkan exit strategy dan keberlanjutan program (COREMAP III). Mudah-mudahan ketiganya dapat secara simultan dilaksanakan.
Sejauh ini pencapaian program COREMAP II hampir memenuhi seluruh tujuan pada tahapan akselerasi ini, khususnya pencapaian pada tiga komponen penting dalam program Coremap, dapat dijaabarkan sebagai berikut: PERTAMA adalah, Penguatan kelembagaan, dan pengembangan kawasan konservasi perairan laut daerah., Upaya Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Terumbu Karang  di tingkat pusat dan daerah, telah tercapai melalui kegiatan asistensi dan koordinasi yang terus dilakukan.  COREMAP telah dan terus mendorong diterbitkannya
Peraturan Daerah dan Rencana Strategis daerah dalam Pengelolaan Terumbu Karang, Sampai saat ini sedikitnya 7 (tujuh) Peraturan daerah kabupaten/kota dan 15 (lima belas) Rencana Strategis telah disyahkan dan diadopsi oleh pemerintah daerah. Saat ini telah  dicadangkan lebih dari 2 juta hektar Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Daerah di 10 lokasi program, dan lebih dari 430 daerah perlindungan laut yang telah terbentuk dan dikelola secara efektif oleh masyarakat. Terbentuknya sistem informasi pengelolaan ekosistem terumbu karang
Terlaksananya Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat dan POKMASWAS, serta terlaksananya monitoring ekologi dan sosek secara berkala (CRITC Pusat dan Daerah); KEDUA adalah komponen Pengelolaan Terumbu Karang berbasis masyarakat, ini meliputi: Pelatihan
Perikanan Terumbu Karang secara berkelanjutan, pemasaran Sosial Pengelolaan Terumbu Karang, pembangunan infrastruktur sosial pendukung, penciptaan mata pencaharian alternatif/MPA (lebih dari 4500 kegiatan MPA); Fasilitasi di Desa dan Bantuan Teknis; Tersedianya sarana dan prasarana sosial (Fasilitas Kebersihan, Pondok Informasi, Jetty, Perahu dll), Pembentukan Pusat Informasi Terumbu Karang di desa, dalam hitungan angka, sampai saat ini telah terbentuk 411 LPSTK  dan sekitar 2000 POKMAS dengan jumlah anggota 25.000 orang, adanya sistem pendanaan skala mikro di Masyarakat (Seed Fund) dan Village Grant, terbentuknya 430 DPL berbasis masyarakat beserta Perdes, berkurangnya kegiatan penangkapan destruktif secara signifikan, serta adanya dukungan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan.kegiatan ini telah dilaksanakan di lebih dari 300 desa,  dan dibantu oleh 728 fasilitator dan 8 NGO di 15 lokasi COREMAP.  KETIGA, kegiatan Penyadaran Masyarakat dan Pendidikan maupun kemitraan bahari. Melalui ketiga komponen penting tersebut COREMAP II telah menunjukkan perannya untuk turut mengelola terumbu karang bagi perikanan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Beberapa capaian diantaranya:
Langkah Strategis yang Seharusnya Dilakukan
COREMAP memang memiliki tujuan dan visi program yang sangat baik dalam menjaga ekosistem terumbu karang. Tapi akar masalah yang sebenarnya yang terletak pada nelayan sendiri seakan belum bisa ditangani dengan maksimal. Yaitu masalah dasar pola pikir nelayan, ketidaktahuan, dan yang paling utama adalah kesejahteraan. Nelayan sering tetap tidak peduli walau dilakukan penyuluhan akibat mengutamakan kesejahteraan mereka. Dan mereka terlihat semakin leluasa akibat walau ada peraturan dan hukum mereka tetap bisa leluasa melakukan aksinya dan pemasokan bahan baku alat tangkap ilegal itu tetap dengan mudah nelayan dapat peroleh. Pragram ini selayaknya akan sukses bila pemerintah atau penyelengara program ini dapat lebih dekat dan mengenal kondisi nelayan masa kini. Dan juga perlu memperoleh dukungan dari penegak hukum dan dukungan dari perhatian pemerintah.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kegiatan illegal fishing baik secara internal maupun secara eksternal. Faktor-faktor yang menyebabkan kegiatan ini dapat terjadi meliputi adanya pelaku kegiatan yang didasari karena kurangnya kesadaran akan pentingnya sumberdaya perikanan, adanya pasokan bahan baku khususnya untuk kegiatan pemboman dan kegiatan pembiusan, Lemahnya informasi dan pengetahuan yang dimiliki nelayan tentang kerugian yang ditimbulkan akibat illegal fishing, kemiskinan masyarakat nelayan, lemahnya hukum tentang perikanan, dan kurangnya armada perikanan yang dimiliki.
Sebenarnya akar permasalahan kerusakan terumbu karang meliputi empat hal yaitu :
(1) Kemiskinan masyarakat dan ketiadaan matapencaharian alternatif
(2) ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat dan pengguna
(3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan
(4) kebijakan pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang.
Umumnya Semua faktor yang ada harus segera dicarikan pemecahan yang baik sehingga kegiatan illegal fishing yang terjadi dapat cepat teratasi dan tidak lagi merusak keadaan ekosistem perairan terutama kehidupan ekosistem karang. Apabila faktor tersebut tidak diatasi dengan baik maka diperkirakan dalam beberapa tahun kedepan akan terjadi kerusakan ekosistem perairan secara besar-besaran khususnya daerah karang yang berdampak pada turunnya produktifitas dari perikanan tangkap khususnya pada daerah karang.
Antisipasi yang dapat dilakukan terhadap illegal fishing
Dalam menanggulangi permasalahan illegal fishing yang ada sehingga tidak berkelanjutan dan menyebabkan kerusakan yang berdampak besar maka diperlukan solusi yang tepat untuk menekan terjadinya kegiatan tersebut seperti:
1) peningkatan kesadaran masyarakat nelayan akan bahaya yang ditimbulkan dari
illegal fishing.
2) peningkatan pemahaman dan pengetahuan nelayan tentang illegal fishing.
3) melakukan rehabilitasi terumbu karang.
4) membuat alternatife habitat karang sebagai habitat ikan sehingga daerah karang alami tidak rusak akibat penangkapan ikan.
5) mencari akar penyebab dari masing-masing masalah yang timbul dan mencarikan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
6) melakukan penegakan hukum mengenai perikanan khususnya dalam hal pemanfaatan
yang bertanggung jawab.
7) meningkatkan pengawasan dengan membuat badabn khusus yang menangani dan bertanggung jawab terhadap kegiatan illegal fishing.
Dari ketujuh solusi yang dapat dilakukan, hal yang paling mendasar untuk diatasi adalah peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat nelayan mengenai illegal. Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah pesisir. Agar betul-betul bisa langsung menyerang akar permasalahan dan menanamkan kesadaran sejak awal untuk menjaga terumbu karang. Tapi penyuluhan itu tidak akan dapat bertahan lama jika akar dari semua masalah itu tidak segera di selesaikan yaitu faktor kemiskinan.
Tapi semua solusi di atas masih kurang maksimal karena pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang, dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti.
III.KESIMPULAN
Dengan meningkatkan kesadaran nelayan maka pemikiran nelayan akan terbuka dan nelayan akan mengerti betapa merugikannya melakukan kegiatan illegal fishing dalam proses penangkapan ikan khususnya pada daerah karang sehingga kegiatan penangkapan tersebut dapat beralih menjadi penangkapan yang ramah lingkungan dan menjadikan ekosistem perairan khususnya ekosistem terumbu karang tempat dimana dilakukannya proses penangkapan dapat lestari. Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah pesisir. Agar betul-betul bisa langsung menyerang akar permasalahan dan menanamkan kesadaran sejak awal untuk menjaga terumbu karang.
Walau kesadaran sudah tercipta tapi tetap tidak akan bertahan lama jika masalah kesejahteraan nelayan tidak segera ditangani. Oleh sebab itu sangat membutuhkan campur tangan pemerintah karena memang sudah seharusnya begitu.Dengan adanya bantuan pemerintah yang tepat sasaran maka peningkatan kesejahteraan nelayan sudah tidak jadi sekedar impian lagi tapi dapat diwujudkan.
Sekarang tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan illegal fishing pada ikan-ikan karang khususnya untuk memperbaiki daerah karang yang rusak adalah dengan melakukan transpalasi karang ataupun pembuatan terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan adalah suatu struktur yang dibangun untuk menyediakan lingkungan, habitat, sumber makanan, tempat pemijahan dan asuhan, serta perlindungan pantai sebagaimana halnya terumbu karang alam.
Karena pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang, dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti. Dengan Terlaksananya semua hal di atas pasti akan memberikan dampak nyata pada nelayan dan kelestarian terumbu karang walau mungkin tidak dalam waktu singkat untuk menyelesaikan masalah ini sepenuhnya.