Udang
windu (Penaeus monod Sejak tahun 1995, penyakit bintik putih
pada udang yang dikenal sebagai WSSV (White Spot Syndrome Virus) telah mewabah
dan menyebar meluas ke seluruh sentra-sentra budidaya udang windu di Indonesia.
Penyakit tersebut memiliki tingkat patogenitas tinggi dengan mortalitas dapat
mencapai 100 % yang merupakan penghambat utama kegagalan budidaya udang
windu di Asia
dan Amerika (Mahardika
dkk. 2004). WSSV
ditemukan pertama kali pada
tahun 1992 pada
Penaeus japonicus yang
dibudidayakan di Taiwan (Chang et al. 1998). Virus white spot ini sangat patogenik pada P.
indicus dan P.monodon (Lo et al. 1996a) sehingga dapat mengakibatkan mortalitas
100 % dalam 2 – 7 hari bila udang terinfeksi virus tersebut.
Pada
panti pembenihan udang India sebanyak 630 sampel udang yang terdiri atas pasca
larva (PL) dan yuwana, 53 % diantaranya positif terserang WSSV (Vaseeharan et
al.2003). Serangan penyakit white spot pertama kali di Indonesia ditemukan pada
areal pertambakan udang windu di Tangerang, Serang dan Karawang pertengahan
tahun 1994 (Mahardika dkk. 2004). Penyakit WSSV tersebut juga menyerang tambak
tradisional di Bangil Jawa Timur pada tahun 1999 dan sampai saat ini belum
dapat diatasi. Hasil uji laboratoris juga
menunjukkan bahwa WSSV tidak hanya menginfeksi P. monodon tetapi
juga menginfeksi udang vaname, P. stylirostris dan P. setiferus. Berdasarkan
informasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Indramayu, virus white spot sudah
banyak menyebabkan kegagalan budidaya udang baik di tambak tradisional maupun
intensif di sentra pertambakan kabupaten Indramayu.
Pada akhir-akhir ini telah
dikembangkan uji biomolekuler untuk mendeteksi keberadaan
DNA WSSV menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) baik oleh
perusahaan farmasi dalam bentuk kit WSSV
yang memakai metode one-step PCR (PCR tunggal) dengan satu kali proses
amplifikasi (penggandaan) sekuen WSSV. Penggunaan metode deteksi one-step
PCR yang umumnya menjadi protokol dalam
kit-kit WSSV yang diproduksi secara komersiil untuk sampel udang yang terinfeksi berat (bintik putih pada karapas) dengan mudah dapat dideteksi
keberadaan WSSV tersebut, oleh karena tingkat infeksinya cukup berat
(Vaseeharan et al. 2003). Apabila sampel berasal dari udang sehat (tidak ada
bintik putih pada karapas, kaki jalan atau kaki renang) tetapi memiliki gejala
klinis seperti menurunnya nafsu makan dan berenang ke tepian tambak, maka
setelah uji one-step PCR memberikan hasil negatif. Ketika sampel tersebut diuji
ulang menggunakan metode
Nested
PCR, keberadaan WSSV terdeteksi dengan hasil yang positif WSSV (Otta et al.1999).
Hasil
deteksi DNA WSSV baik pada udang windu (P. monodon) dan carrier WSSV (udang
rebon, kepiting) lebih sensitif ketika menggunakan metode Nested PCR (two-step
PCR) yang kira-kira 103 lebih mampu mendeteksi WSSV dibanding one-step PCR (Lo et al. 1996b).on fabr.) merupakan salah
satu unggulan sektor perikanan dan kelautan nasional yang banyak dibudidayakan
meskipun beberapa jenis udang telah dikembangkan dan dibudidayakan di
Indonesia, antara lain udang galah, udang putih, udang vanamei, dan udang
windu. "Jenis udang yang dapat diterima di masyarakat adalah udang windu
karena dari segi harga tetap stabil dan teknologi pembudidayaannya telah banyak
dikuasai masyarakat serta rasa dagingnya nikmat," kata Kepala Balai
Karangtina Klas I Juanda, Surabaya, Drs. Burhaidin, S.Pi., M.P.,dalam ujian
promosi terbuka untuk memperoleh gelar doktor di Fakultas Kedokteran Hewan UGM,
Selasa (21/9).
Tingkat
produksi budidaya udang windu secara nasional mengalami penurunan menjadi 70
ribu ton per tahun. Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi udang nasional
mencapai 699.000 ton, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya sebesar
348.100 ton.
Penurunan
produksi udang windu ini, menurut Nurhaidin, disebabkan oleh serangan penyakit
pada udang terutama white spot syndrome virus (WSSV). Walaupun secara teknis
telah dilakukan sesuai dengan persyaratan standar pada kegiatan pembenihan,
kematian benih udang yang disebabkan oleh serangan WSSV masih cukup tinggi,
yakni mencapai 60-70 persen. "Virus penyebab WSSV merupakan virus eksotik
yang tetap bersifat infektif meskipun dalam kondisi beku. Penularan penyakit
ini berasal dari spesies udang impor terhadap spesies udang lokal yang dapat
terjadi apabila virus dapat beradapatasi pada inang baru," kata lulusan
program master FKH ini.
Deteksi
adanya infeksi WSSV ini, kata Nurhaidin, diharuskan menggunakan metoda yang
sensitif dan akurat dalam manajemen kesehatan satwa akuatik. Di antara metoda
yang telah dikembangkan oleh para ahli itu, yakni metoda berbasis DNA seperti
polymerase chain reaction (PCR) yang dianggap paling tepat untuk diagnosis dan
deteksi cepat penyakit viral pada udang dan moluska. "Saat ini, teknologi
berbasis DNA, terutama PCR, telah diaplikasikan secara luas di bidang
akuakultur. Meskipun sangat potensial, tetapi penggunaan teknologi diagnostik berbasis
DNA secara rutin tetap mempunyai beberapa masalah karena sensitivitas yang
tinggi mengakibatkan uji tidak dapat membedakan antara patogen yang hidup
dengan yang mati dan akibat infeksi atau kontaminasi," imbuhnya.
Berdasarkan
penelitian Nurhaidin terhadap 75 ekor udang windu dari tambak udang windu di
beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti Maros, Pangkep, Pinrang, Barru,
Takalar, Majene dan Bonne, serta Makassar, diketahui deteksi WSSV pada udang
windu dengan menggunakan metoda PCR cukup efektif meski diketahui tingkat
sensitivitas dan spesifikasi masih relatif rendah. "Tingkat sensitivitas
dan spesifisitasnya, 72% dan 66%," terangnya. Untuk mengatasi hal itu,
diperlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan dan
dihindari sehingga uji PCR yang akan diaplikasikan memiliki akurasi diagnostik
yang tinggi terkait dengan gejala klinis dan lesi patologis, waktu pengambilan
sampel, dan kesalahan human error.
Nurhaidin
menjelaskan udang windu yang terjangkiti WSSV menunjukkan gejala bintik-bintik
berwarna keputihan berdiameter 1 cm pada permukaan eksosskeleton dan
keseluruhan tubuh udang berwarna merah jambu hingga merah kecoklatan. (Humas
UGM/Gusti Grehenson)
Infeksi Virus
Intensitas
serangan virus white spot pada udang windu baik pada stadia post larva (PL) dan
pemeliharaan umur 1 – 2 bulan di tambak
pembesaran menunjukkan adanya tingkatan infeksi. Hasil deteksi pada
sampel udang putih liar (P. indicus), kepiting (Scylla serrata) dan udang rebon
(Metapenaeus spp.) yang
diambil dari 18
lokasi tambak udang
di India, sebanyak 23 % positif
WSSV (Vaseeharan et al. 2003) setelah uji Nested PCR.
Tidak
diperoleh pita DNA WSSV dari produk amplifikasi pertama (one step PCR), hal ini
menunjukkan metode ini tidak mampu mendeteksi keberadaan virus dalam konsentrasi
rendah. Elektroforegram produk Nested PCR pada sampel udang windu (PL40, umur
pemeliharaan 2 bulan), sampel
vaname (PL12) dan
udang jembret sebagai
vektor virus mendeteksi
keberadaan WSSV pada sampel tersebut Metode Nested PCR ini
lebih sensisitf mendeteksi WSSV pada awal infeksi. Primer kedua (WSSV-F2 dan
WSSV-R2) menghasilkan amplikon dari fragmen WSSV berukuran 296 bp (Gambar 2,
sumur ke-6 sampei ke-11) sebagai hasil kopi yang didasarkan urutan fragmen yang
sama pada bagian internal fragmen WSSV yang telah diamplifikasi pasangan primer
pertama (WSSV-F1 dan WSSV-R1) (Hossain et al. 2001). Satu pita DNA WSSV (296
bp) yang muncul tersebut mengindikasikan tingkat infeksinya tergolong ringan
pada sampel windu PL40, windu umur 2 bulan, vaname PL12 dan udang jembret dengan uji Nested PCR
(Manivannan et al. 2002).
Ukuran
fragmen WSSV (296 bp) yang terdeteksi dari hasil penelitian ini, tidak jauh
berbeda dengan hasil yang diperoleh Vaseeharan et al. (2003), bahwa produk
amplifikasi dari sampel PL dan yuwana udang windu (P. monodon) yang terinfeksi
WSSV berukuran 294 bp. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian
Sritunyalucksana et al. 2006), untuk pita WSSV pada stadia PL udang yang
terinfeksi ringan pada posisi 296 bp. Berdasarkan hal ini, maka sampel udang
windu (PL40 dan umur pemeliharaan 2
bulan) serta udang vaname (Litopenaeus vannamei) asal Karangsong dan
Balongan positif terinfeksi WSSV dengan tingkatan ringan.
Udang
jembret (rebon) sebagai vektor virus positif terinfeksi WSSV (296 bp) dengan
tingkatan ringan (Gambar 2, sumur ke-9 dan ke-10). Hasil ini mengindikasikan
bahwa sumber penularan penyakit bintik putih pada udang windu, udang vaname
pada tingkatan stadia tersebut, salah satunya berasal dari udang jembret yang
telah menyebar ke wilayah perairan yang menghubungkan tambak Karangsong dan
Balongan Indramayu. Hossain et al. (2001) juga mendeteksi keberadaan WSSV (310
bp) pada udang rebon (Metapenaeus dobsoni) sebagai vektor virus menggunakan
Nested PCR. Disamping itu, nauplii Artemia sebagai makanan alami udang windu
dan vaname yang umum digunakan pada panti pembenihan udang ternyata merupakan
agen penular penyakit WSSV. Hasil uji Nested PCR pada sampel nauplii Artemia
positif WSSV dengan
ukuran fragmen sekitar 296 bp menggunakan pasangan primer 146 F2
(5’-GTAACTGCCCCTTCCATCTCCA-3’)dan primer 146 R2 (5’-
TACGGCAGCTGCTGCACCTTGT-3’) (Chang et al. 2002).
Penyakit white spot akan berpengaruh pada
kualitas udang yang akan dihasilkan sehingga jika tidak segera dilakukan
pemanenan, maka jika terlambat melakukan pemanenan dikhawatirkan kualitas udang
secara keseluruhan akan turun pada kualitas yang lebih rendah, sehingga akan
berpengaruh pada tingkat harga jual dan secara tidak langsung berpengaruh pula
pada perolehan finansial yang akan didapat.