Sabtu, 09 Agustus 2014

WSSV (WHITE SPOT SYNDROME VIRUS) MEWABAH MENYEBAR MELUAS KE SELURUH SENTRA-SENTRA BUDIDAYA UDANG WINDU DI INDONESIA

Udang windu (Penaeus monod Sejak tahun 1995, penyakit bintik putih pada udang yang dikenal sebagai WSSV (White Spot Syndrome Virus) telah mewabah dan menyebar meluas ke seluruh sentra-sentra budidaya udang windu di Indonesia. Penyakit tersebut memiliki tingkat patogenitas tinggi dengan mortalitas dapat mencapai 100 % yang merupakan penghambat utama kegagalan budidaya  udang  windu  di  Asia  dan  Amerika  (Mahardika  dkk.  2004).  WSSV  ditemukan pertama  kali  pada  tahun  1992  pada  Penaeus  japonicus  yang  dibudidayakan  di  Taiwan (Chang et al. 1998). Virus  white spot ini sangat patogenik pada P. indicus dan P.monodon (Lo et al. 1996a) sehingga dapat mengakibatkan mortalitas 100 % dalam 2 – 7 hari bila udang terinfeksi virus tersebut.
Pada panti pembenihan udang India sebanyak 630 sampel udang yang terdiri atas pasca larva (PL) dan yuwana, 53 % diantaranya positif terserang WSSV (Vaseeharan et al.2003). Serangan penyakit white spot pertama kali di Indonesia ditemukan pada areal pertambakan udang windu di Tangerang, Serang dan Karawang pertengahan tahun 1994 (Mahardika dkk. 2004). Penyakit WSSV tersebut juga menyerang tambak tradisional di Bangil Jawa Timur pada tahun 1999 dan sampai saat ini belum dapat diatasi. Hasil uji laboratoris juga  menunjukkan bahwa WSSV  tidak  hanya  menginfeksi P. monodon  tetapi  juga menginfeksi udang vaname, P. stylirostris dan P. setiferus. Berdasarkan informasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Indramayu, virus white spot sudah banyak menyebabkan kegagalan budidaya udang baik di tambak tradisional maupun intensif di sentra pertambakan kabupaten Indramayu.
Pada   akhir-akhir        ini        telah   dikembangkan   uji       biomolekuler   untuk   mendeteksi keberadaan DNA WSSV menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) baik oleh perusahaan farmasi dalam bentuk kit WSSV   yang memakai metode one-step PCR (PCR tunggal) dengan satu kali proses amplifikasi (penggandaan) sekuen WSSV. Penggunaan metode deteksi one-step PCR   yang umumnya menjadi protokol dalam kit-kit WSSV yang diproduksi secara komersiil untuk sampel udang yang  terinfeksi berat (bintik putih  pada karapas) dengan mudah dapat dideteksi keberadaan WSSV tersebut, oleh karena tingkat infeksinya cukup berat (Vaseeharan et al. 2003). Apabila sampel berasal dari udang sehat (tidak ada bintik putih pada karapas, kaki jalan atau kaki renang) tetapi memiliki gejala klinis seperti menurunnya nafsu makan dan berenang ke tepian tambak, maka setelah uji one-step PCR memberikan hasil negatif. Ketika sampel tersebut diuji ulang menggunakan metode
Nested PCR, keberadaan WSSV terdeteksi dengan hasil yang positif WSSV (Otta et al.1999).
Hasil deteksi DNA WSSV baik pada udang windu (P. monodon) dan carrier WSSV (udang rebon, kepiting) lebih sensitif ketika menggunakan metode Nested PCR (two-step PCR) yang kira-kira 103 lebih mampu mendeteksi WSSV dibanding one-step PCR  (Lo et al. 1996b).on fabr.) merupakan salah satu unggulan sektor perikanan dan kelautan nasional yang banyak dibudidayakan meskipun beberapa jenis udang telah dikembangkan dan dibudidayakan di Indonesia, antara lain udang galah, udang putih, udang vanamei, dan udang windu. "Jenis udang yang dapat diterima di masyarakat adalah udang windu karena dari segi harga tetap stabil dan teknologi pembudidayaannya telah banyak dikuasai masyarakat serta rasa dagingnya nikmat," kata Kepala Balai Karangtina Klas I Juanda, Surabaya, Drs. Burhaidin, S.Pi., M.P.,dalam ujian promosi terbuka untuk memperoleh gelar doktor di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Selasa (21/9).
Tingkat produksi budidaya udang windu secara nasional mengalami penurunan menjadi 70 ribu ton per tahun. Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi udang nasional mencapai 699.000 ton, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya sebesar 348.100 ton.
Penurunan produksi udang windu ini, menurut Nurhaidin, disebabkan oleh serangan penyakit pada udang terutama white spot syndrome virus (WSSV). Walaupun secara teknis telah dilakukan sesuai dengan persyaratan standar pada kegiatan pembenihan, kematian benih udang yang disebabkan oleh serangan WSSV masih cukup tinggi, yakni mencapai 60-70 persen. "Virus penyebab WSSV merupakan virus eksotik yang tetap bersifat infektif meskipun dalam kondisi beku. Penularan penyakit ini berasal dari spesies udang impor terhadap spesies udang lokal yang dapat terjadi apabila virus dapat beradapatasi pada inang baru," kata lulusan program master FKH ini.
Deteksi adanya infeksi WSSV ini, kata Nurhaidin, diharuskan menggunakan metoda yang sensitif dan akurat dalam manajemen kesehatan satwa akuatik. Di antara metoda yang telah dikembangkan oleh para ahli itu, yakni metoda berbasis DNA seperti polymerase chain reaction (PCR) yang dianggap paling tepat untuk diagnosis dan deteksi cepat penyakit viral pada udang dan moluska. "Saat ini, teknologi berbasis DNA, terutama PCR, telah diaplikasikan secara luas di bidang akuakultur. Meskipun sangat potensial, tetapi penggunaan teknologi diagnostik berbasis DNA secara rutin tetap mempunyai beberapa masalah karena sensitivitas yang tinggi mengakibatkan uji tidak dapat membedakan antara patogen yang hidup dengan yang mati dan akibat infeksi atau kontaminasi," imbuhnya.
Berdasarkan penelitian Nurhaidin terhadap 75 ekor udang windu dari tambak udang windu di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti Maros, Pangkep, Pinrang, Barru, Takalar, Majene dan Bonne, serta Makassar, diketahui deteksi WSSV pada udang windu dengan menggunakan metoda PCR cukup efektif meski diketahui tingkat sensitivitas dan spesifikasi masih relatif rendah. "Tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya, 72% dan 66%," terangnya. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dihindari sehingga uji PCR yang akan diaplikasikan memiliki akurasi diagnostik yang tinggi terkait dengan gejala klinis dan lesi patologis, waktu pengambilan sampel, dan kesalahan human error.
Nurhaidin menjelaskan udang windu yang terjangkiti WSSV menunjukkan gejala bintik-bintik berwarna keputihan berdiameter 1 cm pada permukaan eksosskeleton dan keseluruhan tubuh udang berwarna merah jambu hingga merah kecoklatan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
 Infeksi Virus
Intensitas serangan virus white spot pada udang windu baik pada stadia post larva (PL) dan pemeliharaan umur 1  – 2 bulan di tambak pembesaran  menunjukkan  adanya tingkatan infeksi. Hasil deteksi pada sampel udang putih liar (P. indicus), kepiting (Scylla serrata) dan udang  rebon  (Metapenaeus  spp.)  yang  diambil  dari  18  lokasi  tambak  udang  di  India, sebanyak 23 % positif WSSV (Vaseeharan et al. 2003) setelah uji Nested PCR.
Tidak diperoleh pita DNA WSSV dari produk amplifikasi pertama (one step PCR), hal ini menunjukkan metode ini tidak mampu mendeteksi keberadaan virus dalam konsentrasi rendah. Elektroforegram produk Nested PCR pada sampel udang windu (PL40, umur pemeliharaan 2 bulan), sampel  vaname  (PL12)  dan  udang  jembret  sebagai  vektor  virus mendeteksi keberadaan WSSV pada sampel tersebut Metode Nested PCR ini lebih sensisitf mendeteksi WSSV pada awal infeksi. Primer kedua (WSSV-F2 dan WSSV-R2) menghasilkan amplikon dari fragmen WSSV berukuran 296 bp (Gambar 2, sumur ke-6 sampei ke-11) sebagai hasil kopi yang didasarkan urutan fragmen yang sama pada bagian internal fragmen WSSV yang telah diamplifikasi pasangan primer pertama (WSSV-F1 dan WSSV-R1) (Hossain et al. 2001). Satu pita DNA WSSV (296 bp) yang muncul tersebut mengindikasikan tingkat infeksinya tergolong ringan pada sampel windu PL40, windu umur 2 bulan, vaname PL12  dan udang jembret dengan uji Nested PCR (Manivannan et al. 2002).
Ukuran fragmen WSSV (296 bp) yang terdeteksi dari hasil penelitian ini, tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh Vaseeharan et al. (2003), bahwa produk amplifikasi dari sampel PL dan yuwana udang windu (P. monodon) yang terinfeksi WSSV berukuran 294 bp. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Sritunyalucksana et al. 2006), untuk pita WSSV pada stadia PL udang yang terinfeksi ringan pada posisi 296 bp. Berdasarkan hal ini, maka sampel udang windu (PL40   dan umur pemeliharaan 2 bulan) serta udang vaname (Litopenaeus vannamei) asal Karangsong dan Balongan  positif  terinfeksi WSSV  dengan tingkatan ringan.
Udang jembret (rebon) sebagai vektor virus positif terinfeksi WSSV (296 bp) dengan tingkatan ringan (Gambar 2, sumur ke-9 dan ke-10). Hasil ini mengindikasikan bahwa sumber penularan penyakit bintik putih pada udang windu, udang vaname pada tingkatan stadia tersebut, salah satunya berasal dari udang jembret yang telah menyebar ke wilayah perairan yang menghubungkan tambak Karangsong dan Balongan Indramayu. Hossain et al. (2001) juga mendeteksi keberadaan WSSV (310 bp) pada udang rebon (Metapenaeus dobsoni) sebagai vektor virus menggunakan Nested PCR. Disamping itu, nauplii Artemia sebagai makanan alami udang windu dan vaname yang umum digunakan pada panti pembenihan udang ternyata merupakan agen penular penyakit WSSV. Hasil uji Nested PCR pada sampel nauplii  Artemia  positif  WSSV dengan  ukuran  fragmen sekitar 296  bp  menggunakan pasangan primer 146 F2 (5’-GTAACTGCCCCTTCCATCTCCA-3’)dan primer 146 R2 (5’- TACGGCAGCTGCTGCACCTTGT-3’) (Chang et al. 2002). 
Penyakit white spot akan berpengaruh pada kualitas udang yang akan dihasilkan sehingga jika tidak segera dilakukan pemanenan, maka jika terlambat melakukan pemanenan dikhawatirkan kualitas udang secara keseluruhan akan turun pada kualitas yang lebih rendah, sehingga akan berpengaruh pada tingkat harga jual dan secara tidak langsung berpengaruh pula pada perolehan finansial yang akan didapat.